BAB I PENDAHULUAN
“Berbahagialah bangsa yang Tuhannya adalah YAHWEH” (Mazmur 33:12)
(Dan berbahagialah agama yang Tuhannya adalah YAHWEH)
Ada sebuah cerita mengenai seorang yang selama reli kampanye pemilihan umum, menempelkan stiker yang bertuliskan: “Aku sudah mengambil keputusan dalam hatiku – jangan membuatku bingung dengan fakta-fakta” pada bemper mobilnya.
Banyak di antara kita yang salah mengadopsi/menerapkan sikap tersebut untuk urusan yang berkaitan dengan kepercayaan (agama) yang kita anut. Kita sudah puas dengan keadaan kita saat ini sehingga kita tidak mau pusing-pusing lagi memikirkan fakta-fakta yang kita anggap malah membingungkan dan mengganggu kita. Sikap semacam ini sangat berbahaya; terutama manakala “fakta-fakta” tersebut berhubungan dengan keselamatan jiwa seseorang.
Selama ini orang menduga bahwa Sesembahan umat Kristen dan umat Muslim adalah Tuhan yang sama, dan yang berbeda hanya ungkapan kebahasaannya serta mode/ragam penyembahannya saja. Namun, setelah empat belas abad berlalu dan mengingat pengalaman-pengalaman kami pada masa kini, kami perlu melakukan suatu studi yang sistematis mengenai keilahian Allah dan meneliti mengenai identitas sesungguhnya dari Tuhan umat Muslim tersebut. Hal tersebut merupakan alasan keberadaan buku ini.
Keseriusan dari isu ini menuntut keterusterangan yang ikhlas, tetapi kami ingin menekankan bahwa buku ini ditulis bukan dengan tujuan untuk mengungkapkan rasa kebencian atau rasa tidak senang kami kepada umat Muslim, namun justru rasa kasih Kristianilah yang mendorong kami menyatakan kebenaran kepada para pembaca pada umumnya, dan khususnya kepada teman-teman Muslim kami yang sangat kami kasihi, sehingga kami dapat menghadapi hari penghakiman dengan berani karena kami telah mempertaruhkan hidup kami untuk mendiskusikan perkara yang penting ini.
“Dalam hal inilah kasih Tuhan sempurna di dalam kita, yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman, … Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih” (1 Yohanes 4:17-18).
Siapakah Allah?
Sejumlah orang sering bertanya: Apakah Allah itu Tuhan? Apakah Allah itu “Tuhan dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (Kolose 1:3)? Banyak pendapat bermunculan. Beberapa orang mengatakan Allah adalah Tuhan – Tuhan yang sama dengan Tuhan dalam Alkitab sebagaimana Dia dikenal dalam bahasa Arab. Beberapa orang lain mengatakan hal tersebut di atas tidak mungkin terjadi; mereka mengatakan bahwa mereka tidak tahu siapa Dia, tetapi mereka yakin bahwa Dia berbeda dengan Tuhan dalam Alkitab. Beberapa orang mengatakan bahwa Dia sesungguhnya seorang dewata yang berkuasa, tetapi bukan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahkan beberapa orang percaya bahwa ada dua Allah. Mereka mengatakan “Allah” orang Arab dan orang Kristen Hausa berbeda dengan “Allah” orang Islam (Hausa adalah masyarakat kulit hitam Sudan dan Nigeria Utara). Menurut mereka, sementara Allah umat Kristen Arab adalah Tuhan, Allah umat Muslim bukan Tuhan. Namun jika bukan Tuhan, siapakah Dia?
Isu mengenai identitas Allah ini telah terombang-ambing selama bertahun-tahun, dan sekarang sudah saatnya kita menggali fakta-fakta secara terbuka dan menerapkan kebenaran mengenai masalah tersebut. Rekayasa kebohongan yang dilakukan oleh iblis tidak dapat dikalahkan oleh ide-ide yang kabur dan tak jelas. Dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia seperti ini, kebenaran tidak dapat digantikan dengan apapun. Kebenaran yang separo-paro sangat berbahaya. Kita harus mengamati Alquran, Hadis, sejarah, linguistik dan Alkitan secara mendalam agar kita memperoleh informasi mengenai topik ini secukupnya.
Kita perlu menekankan bahwa tidak ada sumber sejarah Islam lain kecuali yang berasal dari sejarahwan Muslim sendiri, terutama yang terkandung dalam tradisi Islam yang disebut Hadis. Tradisi- tradisi ini banyak jumlahnya dan berjilid-jilid dan untuk mempelajarinya sungguh merupakan suatu hal yang sangat menyiksa/melelahkan. Namun karena tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan informasi yang secukupnya, kita harus mengacu pada tradisi-tradisi Islam dalam Hadis tersebut.
Tidak semua Sunah maupun Hadis (lihat apendiks) diterima oleh umat Muslim sebagai sumber informasi yang otentik. Oleh karenanya kami mencoba untuk tidak mengutip satupun dari tradisi yang bertentangan dengan Alquran. Tradisi-tradisi yang dikutip hanyalah yang dapat menjelaskan lebih lanjut apa yang telah dikatakan dalam Alquran. Hadis yang secara umum diterima baik oleh kaum Muslim Shiah maupun Sunni adalah Mazalim atau Sahih Al Bukhari, Kitab al zakat oleh Muslim, Shahih Muslim, Mishkatu’l Masabih, Surat’ur Rasul oleh Ibn Ishaq, dan dari penulis lain seperti Ibn Athir, Abu Daud, Abu c Abd ar-Rahmann-al-Nasa dan Abu c Isa Mohammed, Jami’at Tirmidhi, Ibn Majah dan Sunnah An-Nasa’i.
Laporan polesan mengenai perkara ini tidak akan menghasilkan apapun dan hanya akan menggiring pada suatu kesimpulan yang justru lebih membingungkan daripada meyakinkan, dan akibatnya, membahayakan bagi nasib jutaan jiwa umat Muslim yang setia/taat. Konsekuensinya, masalah ini akan menjadi suatu bahan studi yang intensif/menyeluruh dan segala usaha akan dilakukan untuk mengantisipasi semua pertanyaan yang muncul.
“Berbahagialah bangsa yang Tuhannya adalah YAHWEH” (Mazmur 33:12)
(Dan berbahagialah agama yang Tuhannya adalah YAHWEH)
Ada sebuah cerita mengenai seorang yang selama reli kampanye pemilihan umum, menempelkan stiker yang bertuliskan: “Aku sudah mengambil keputusan dalam hatiku – jangan membuatku bingung dengan fakta-fakta” pada bemper mobilnya.
Banyak di antara kita yang salah mengadopsi/menerapkan sikap tersebut untuk urusan yang berkaitan dengan kepercayaan (agama) yang kita anut. Kita sudah puas dengan keadaan kita saat ini sehingga kita tidak mau pusing-pusing lagi memikirkan fakta-fakta yang kita anggap malah membingungkan dan mengganggu kita. Sikap semacam ini sangat berbahaya; terutama manakala “fakta-fakta” tersebut berhubungan dengan keselamatan jiwa seseorang.
Selama ini orang menduga bahwa Sesembahan umat Kristen dan umat Muslim adalah Tuhan yang sama, dan yang berbeda hanya ungkapan kebahasaannya serta mode/ragam penyembahannya saja. Namun, setelah empat belas abad berlalu dan mengingat pengalaman-pengalaman kami pada masa kini, kami perlu melakukan suatu studi yang sistematis mengenai keilahian Allah dan meneliti mengenai identitas sesungguhnya dari Tuhan umat Muslim tersebut. Hal tersebut merupakan alasan keberadaan buku ini.
Keseriusan dari isu ini menuntut keterusterangan yang ikhlas, tetapi kami ingin menekankan bahwa buku ini ditulis bukan dengan tujuan untuk mengungkapkan rasa kebencian atau rasa tidak senang kami kepada umat Muslim, namun justru rasa kasih Kristianilah yang mendorong kami menyatakan kebenaran kepada para pembaca pada umumnya, dan khususnya kepada teman-teman Muslim kami yang sangat kami kasihi, sehingga kami dapat menghadapi hari penghakiman dengan berani karena kami telah mempertaruhkan hidup kami untuk mendiskusikan perkara yang penting ini.
“Dalam hal inilah kasih Tuhan sempurna di dalam kita, yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman, … Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih” (1 Yohanes 4:17-18).
Siapakah Allah?
Sejumlah orang sering bertanya: Apakah Allah itu Tuhan? Apakah Allah itu “Tuhan dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (Kolose 1:3)? Banyak pendapat bermunculan. Beberapa orang mengatakan Allah adalah Tuhan – Tuhan yang sama dengan Tuhan dalam Alkitab sebagaimana Dia dikenal dalam bahasa Arab. Beberapa orang lain mengatakan hal tersebut di atas tidak mungkin terjadi; mereka mengatakan bahwa mereka tidak tahu siapa Dia, tetapi mereka yakin bahwa Dia berbeda dengan Tuhan dalam Alkitab. Beberapa orang mengatakan bahwa Dia sesungguhnya seorang dewata yang berkuasa, tetapi bukan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahkan beberapa orang percaya bahwa ada dua Allah. Mereka mengatakan “Allah” orang Arab dan orang Kristen Hausa berbeda dengan “Allah” orang Islam (Hausa adalah masyarakat kulit hitam Sudan dan Nigeria Utara). Menurut mereka, sementara Allah umat Kristen Arab adalah Tuhan, Allah umat Muslim bukan Tuhan. Namun jika bukan Tuhan, siapakah Dia?
Isu mengenai identitas Allah ini telah terombang-ambing selama bertahun-tahun, dan sekarang sudah saatnya kita menggali fakta-fakta secara terbuka dan menerapkan kebenaran mengenai masalah tersebut. Rekayasa kebohongan yang dilakukan oleh iblis tidak dapat dikalahkan oleh ide-ide yang kabur dan tak jelas. Dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia seperti ini, kebenaran tidak dapat digantikan dengan apapun. Kebenaran yang separo-paro sangat berbahaya. Kita harus mengamati Alquran, Hadis, sejarah, linguistik dan Alkitan secara mendalam agar kita memperoleh informasi mengenai topik ini secukupnya.
Kita perlu menekankan bahwa tidak ada sumber sejarah Islam lain kecuali yang berasal dari sejarahwan Muslim sendiri, terutama yang terkandung dalam tradisi Islam yang disebut Hadis. Tradisi- tradisi ini banyak jumlahnya dan berjilid-jilid dan untuk mempelajarinya sungguh merupakan suatu hal yang sangat menyiksa/melelahkan. Namun karena tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan informasi yang secukupnya, kita harus mengacu pada tradisi-tradisi Islam dalam Hadis tersebut.
Tidak semua Sunah maupun Hadis (lihat apendiks) diterima oleh umat Muslim sebagai sumber informasi yang otentik. Oleh karenanya kami mencoba untuk tidak mengutip satupun dari tradisi yang bertentangan dengan Alquran. Tradisi-tradisi yang dikutip hanyalah yang dapat menjelaskan lebih lanjut apa yang telah dikatakan dalam Alquran. Hadis yang secara umum diterima baik oleh kaum Muslim Shiah maupun Sunni adalah Mazalim atau Sahih Al Bukhari, Kitab al zakat oleh Muslim, Shahih Muslim, Mishkatu’l Masabih, Surat’ur Rasul oleh Ibn Ishaq, dan dari penulis lain seperti Ibn Athir, Abu Daud, Abu c Abd ar-Rahmann-al-Nasa dan Abu c Isa Mohammed, Jami’at Tirmidhi, Ibn Majah dan Sunnah An-Nasa’i.
Laporan polesan mengenai perkara ini tidak akan menghasilkan apapun dan hanya akan menggiring pada suatu kesimpulan yang justru lebih membingungkan daripada meyakinkan, dan akibatnya, membahayakan bagi nasib jutaan jiwa umat Muslim yang setia/taat. Konsekuensinya, masalah ini akan menjadi suatu bahan studi yang intensif/menyeluruh dan segala usaha akan dilakukan untuk mengantisipasi semua pertanyaan yang muncul.
Umat Muslim pada umumnya kurang suka menggunakan kata Tuhan, dan lebih suka menggunakan kata “Allah”. Penggantian nama “Allah” dengan “Tuhan” hanya mempersulit isu yang sedang kita hadapi. Mempercayai bahwa Tuhan dan Allah adalah dua oknum yang tidak berbeda sungguh sangat menyederhanakan masalah. Apa yang dikatakan Alquran mengenai hal ini?
Berbicara kepada orang-orang Kristen dan orang-orang Yahudi pada zamannya yang mempunyai bagian/andil dalam obyek peribadahan Islam, Muhammad menyatakan, “Tuhan kami dan Tuhanmu adalah Satu; dan kami hanya kepadaNya berserah diri” (Surat 29:46; 3:84). Maksudnya, “Allah yang kami sembah dalam Islam dan Yahweh dalam Alkitabmu adalah oknum yang sama”.
Mudah bagi banyak orang untuk menerima pernyataan ini. Namun seorang Kristen atau Muslim yang ingin mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh yang menolak menerima hal-hal sebagaimana tampak dari luar saja dan yang mempelajari secara cermat kitab Alquran dan membandingkannya dengan Alkitab, pasti akan segera mengetahui bahwa kebenaran ternyata tidak sesederhana hal tersebut. Ilmuwan ternama bidang kajian agama Islam, Samuel Zwemer, menulis: “Sebuah nama atau etimologi-etimologi sangat mudah menyesatkan kita. Hampir seluruh penulis mengakui bahwa Tuhan Alquran sama dengan Yahweh atau Bapa Surgawi dalam Alkitab Perjanjian Baru. Apakah pandangan tersebut benar?” Sungguh merupakan suatu pertanyaan besar!
Sejak pertanyaan ini dilontarkan pada tahun 1905, banyak penelitian telah dilakukan. Saat ini, dengan akan bergulirnya abad ini, kita perlu menuntaskan jawaban atas pertanyaan tersebut. Hal tersebut mungkin tidak diterima dengan baik oleh sejumlah orang – terutama ketika mereka mendiskusikan tentang antar-kepercayaan dan menutup mata mereka terhadap urusan mengenai apa yang membagi agama-agama dunia.
Dr. Robert Morey menyatakan, “Kecerobohan berpikir yang mengabaikan perbedaan-perbedaan penting yang membagi agama-agam dunia merupakan suatu pelecehan terhadap keunikan dari agama-agama dunia tersebut”.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Prakata, tema ini mungkin tidak sesederhana seperti yang dipikirkan sebagian dari kita. Dan untuk mencegah munculnya problem-problem dan kebingungan yang menyertai isu ini, seorang professor Kristen yang membidangi kajian teologi Islam, Kenneth Cragg, dalam apologetikanya, The Call of the Minaret (Panggilan dari Menara), menyatakan: “Orang-orang yang mengatakan bahwa Allah bukan ‘Tuhan dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus’ adalah benar jika mereka tidak mengartikan bahwa Tuhan tidak dideskripsikan seperti itu oleh umat Muslim. Mereka salah jika mereka mengartikan bahwa Allah adalah oknum yang berbeda denagn Tuhan dari keimanan Kristiani”.1 Sepintas lalu, observasi tersebut nampaknya telah membereskan masalah ini; namun kami rasa isu ini tidak sesederhana itu yang dapat diselesaikan hanya dengan dua kalimat saja. Masalahnya terletak pada sumber/asal usul Alquran sendiri. Apakah klaim-klaim dalam Alquran mengenai pengertian keilahian semata-mata berasal dari pandangan para pemimpin umat Muslim sendiri? Apakah pesan-pesan dalam Alquran diterima langsung apa adanya atau dikonsep sebelumnya?
Satu hal yang harus kita pahami sementara kita melanjutkan diskusi ini yaitu, meskipun apa yang dinamakan filsafat agama memang mungkin ada, agama itu sendiri, secara mendasar, bukanlah suatu filsafat tetapi suatu wahyu. Agama tidak dapat diukur dengan ukuran yang sama seperti kalau kita mengukur filsafat Plato, filsafat Sokrates, filsafat Deskartes atau filsafat-filsafat lainnya. Islam, khususnya, adalah agama yang diwahyukan, paling tidak pada saat kelahirannya. Sungguh sangat membantu kalau kita menyadari bahwa perbedaan atau sebaliknya (maksudnya persamaan) antara Allah dan Tuhan dari keimanan Kristiani bukan semata-mata masalah deskripsi sebagaimana yang disarankan oleh Profesor Cragg.
Umat Muslim tidak mengatakan bahwa mereka sedang mendeskripsikan Allah. Faktanya, Allah tidak dapat dideskripsikan. Yang dapat dilakuakn seorang Muslim adalah mengangkat tangan sambil menatap ke langit dan menundukkan kepala dalam penyembahan kepada Allah sambil berseru, “Allahu Akbar (Allah Maha BEsar)! Allah terlalu agung untuk dapat dideskripsikan oleh makhluk manusia. Bahkan dari “99 nama Allah yang sangat indah” dalam Alquran, tidak satupun yang dideskripsikan oleh manusia. Nama-nama tersebut diwahyukan oleh Allah sendiri. Muhammad tidak mengonsep pengertian tentang Allah dalam Alquran. Konsepsi merupakan ide/pengertian seseorang mengenai sesuatu benda/barang; konsepsi adalah hasil pikiran manusia.
Menurut umat Muslim dan Alquran, Islam bukan berasal dari kesadaran Muhammad. Dia mungkin mendapatkan konsepsi dari Tuhan, tetapi agama Islam merupakan wahyu langsung, dan bukan suatu produk dari kecerdasan filosofis. Muhammad hanyalah seorang nabi. Setiap pernyataan dalam Alquran merupakan wahyu Ilahi yaitu, sesuatu yang “diturunkan” (Surat 53:4). Muhammad tidak menulis Alquran. Menurut Alquran, Muhammad adalah seorang nabi yang ummi/umi (buta aksara, Surat 7:158). Masa kecilnya ditandai kemiskinan yang hina papa, dan sangat mungkin dia tidak pernah sekolah. Oleh karenanya, bagaimana mungkin dia dapat menulis sebuah buku – buku yang sangat luar biasa seperti Alquran ini. Alquran diturunkan/diwahyukan dari surga, dan naskah aslinya masih ada tersimpan pada “lempengan batu yang seukuran meja yang ada di surga” atau Indul Al Kitab (Umul al kitab) di surga (di sisi Allah) dan sudah ada di sana sebelum dunia diciptakan (Surat 6:92; 3:7; 43:3-4). Itulah sebabnya, isi buku tersebut (Alquran) tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Semua hal tersebut di atas tidak dapat dicerna dan tidak dapat dipercaya oleh pola pikir orang Barat. Namun ini tidak berarti bahwa semuanya itu merupakan klaim yang sia-sia. Kalau semuanya itu disingkirkan berarti tidak ada maujud yang dinamakan Islam. Ratusan juta umat Muslim percaya bahwa Alquran diwahyukan dari surga dan naskah aslinya masih ada tersimpan dalam Induk Alkitab (Di sisi Allah), oleh karenanya kita harus mengawali studi kita atas dasar keyakinan umat Muslim tersebut, paling tidak sebelum kita berusaha untuk meneliti hal-hal tersebut lebih lanjut.
Allah yang terungkap dalam Alquran adalah Allah yang diwahyukan dan bukan suatu konsepsi yang berasal dari para pemuka umat Muslim. Juga bukan sekedar seperti pernyataan umat Kristen bahwa Allah itu “bukan Tuhan dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus”. Dalam buku ini akan terungkap benar tidaknya pernyataan bahwa Allah merupakan suatu wahyu dari Alquran dan bukan seperti yang dinyatakan oleh umat Kristen.
Tuhan Alkitabiah juga bukan merupakan hasil suatu deskripsi manusia. Dia menyatakan DiriNya sendiri kepada Abraham, Yahub, Musa, para nabi, dan Dia turun ke dunia untuk memanifestasikan DiriNya sendiri secara badaniah dalaj wujud pribadi Yesus dari Nazaret. Yesus berkata: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9). Umat Kristen dan umat Yahudi tidak menyusun konsep Tuhan alkitabiah. Tuhan menyatakan DiriNya sendiri yaitu HakikatNya, NamaNYa, KemuliaanNya, Hukum-hukumNya, PengadilanNya, KasihNya, KesucianNya. Kalau semuanya itu disingkirkan berarti tidak ada yang dinamakan Kristen atau Yahudi.
Saat ini, umat Kristen mengenal Tuhan sebagaimana adanya sesuai Alkitab maupun dalam hidup mereka sehari-hari. Demikian juga, dalam nuansa yang sama, umat Muslim mengenal Allah sebagaimana adanya sesuai Alquran maupun dalam hidup mereka sehari-hari. Wahyu-wahyu dan manifestasi-manifestasi (bukan deskripsi-deskripsi) inilah yang menentukan etos Islam dan etika Kristen. Jadi, masalah yang kita hadapi bukan mengenai deskripsi-deskripsi keilahian yang berbeda atau bertentangan antara Kristen dan Islam, tetapi mengenai wahyu-wahyu tersebut di atas. Dan oleh karena wahyu-wahyu tersebut tertulis dalam dua buku, Alquran dan Alkitab, wahyu-wahyu itu merupakan satu-satunya dasar untuk mengidentifikasi siapa Allah itu.
Dalam buku ini, kami bermaksud menjelaskan hakikat Alquran melalui rujukan Alquran itu sendiri, termasuk klaim-klaimnya, dengan Allah sebagai lakon utamanya dan membandingkannya dengan Elohim, Tuhan umat Kristen. Kita harus berpikiran terbuka dalam melakukan perbandingan ini. Kita tidak perlu takut ‘terganggu’ oleh fakta-fakta. ‘Gangguan-gangguan’ semacam ini memang diperlukan. Kami barangkali perlu mohon izin dari umat Muslim untuk mengutip ayat-ayat Alquran. Banyak orang Muslim merasa kurang senang kalau umat non-Muslim mengutip ayat-ayat Alquran karena takut kalau-kalau terjadi interpretasi yang tidak Islami. Namun kalau Alquran memang mengandung fakta-fakta yang jelas dan merupakan firman Allah untuk menyelamatkan umat manusia, umat manusia harus bebas membacanya dan merujuknya dalam melaksanakan wacana religious mereka. Dalam Alkitab terungkap bahwa setanpun diizinkan Tuhan mengutip firmanNya (Matius 4:5-7). Namun demikian, dalam mengutip Alquran, kami tidak setuju dengan Al-A’shari yang menyatakan bahwa Alquran harus diterima bi-la-kayf artinya “tanpa mengajukan pertanyaan apapun”. Sebagai mahasiswa, kami mohon dengan segala hormat kiranya kami diizinkan untuk menolak konsep Islam yang disebut “Ta abbudi” artinya bahwa Alquran harus “diterima tanpa kritikan”. Oleh karena kami bermaksud mempelajari Alquran lebih dalam kami pasti akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu. Dan pertanyaan pertama yang ingin kami ajukan adalah:
Siapakah Yang Menulis Alquran?
Kami telah berbicara mengenai siapa pengarang Alquran dan masih akan membicarakan hal tersebut dalam bab berikut ini dengan lebih mendalam lagi. Asumsi umum yang kami buat ini akan menentukan bagaimana kami menangani isu di depan kami ini. Pada umumnya, sebagian besar umat Muslim percaya bahwa Alquran, buku Suci mereka, diturunkan/diwahyukan dari surga dan diberikan kepada Muhammad dalam ujud bendelan buku atau lembaran-lembaran secara berangsur-angsur. Berbagai ayat dalam Alquran mendeklarasikan bahwa Alquran diturunkan oleh Allah (Surat 3:3; Surat 4:105; Surat 4:113; Surat 31:21; Surat 42:17; Surat 76:23). Tetapi kalau kami merujuk pada Alquran melalui ayat-ayat yang terkandung di dalamnya untuk menentukan siapa pengarangnya, kami akan sampai pada sebuh jawaban yang tidak definit. Sebagai contoh, Surat 26:192-194 dan Surat 16:102 menyatakan bahwa Muhammad menerima Alquran dari “Roh Suci”. Tetapi dalam Surat 53:2-18 dan Surat 81:19-24, kami membaca bahwa inspirasi Alquran diantarkan langsung secara pribadi kepada Muhammad oleh “utusan Allah yang mulia, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah”, dan bahwa Muhammad melihat utusan Allah tersebut. Di bagian lain dari Alquran kami membaca bahwa malaikat Jibril yang membawa Alquran turun ke dalam hati Muhammad dengan seizin Allah (Surat 2:97). Selanjutnya dalam Surat 15:8, kami mengetahui bahwa yang menurunkan Alquran sesungguhnya bukan Allah sendiri, bukan Jibril, dan bukan Roh Suci, melainkan “para malaikat” yang menamakan diri “kami” (bentuk jamak). Seandainya anda seorang Muslim dan anda menjadi bingung dengan pernyataan tersebut, kami bisa memahami kebingungan anda tersebut.
Beberapa orang Muslim terpelajar percaya bahwa lebih beralasan untuk menganggap Alquran sebagai bentuk tertulis dari pesan verbal yang diberikan kepada Muhammad, dan dengan demikian jadilah wahyu itu (interpretasi penerjemah atas kalimat ini adalah bahwa lebih beralasan kalau dikatakan bahwa Muhammad menerima pesan Ilahi secara lisan dan kemudian pesan lisan tersebut ditulis dalam bentuk buku yang dinamakan Alquran). Bila seseorang membaca komentar-komentar dari sebagian besar ilmuwan Islam yang menterjemahkan Alquran, dia dengan mudah dapat melihat bahwa, terpisah dari romantisme stereotip, mereka (ilmuwan Islam penerjemah Alquran tersebut) juga tidak bisa memastikan bahwa Alquran adalah buku Allah.
Seorang mahasiswa yang teliti yang membaca Alquran baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa terjemahan akan melihat bahwa, terpisah dari kutipan-kutipan langsung peristiwa-peristiwa yang dilaporkan, sebagian dari narasi-narasi yang terkandung di dalamnya menamakan pembicaranya/penulisnya sebagai “kami”, sebagian lagi menamakan pembicaranya sebagai “dia” dan kemudian sebagai “saya/aku”, dan seterusnya. Ada beberapa bagian dimana penulis mengalamatkan tulisannya kepada Allah. Penulis nampaknya lupa bahwa dia harus mempertahankan narasinya agar tetap pada keadaan dimana Allah adalah penulisnya, dan dalam kelupaannya kemudian dia merubah nama yang seharusnya nama Allah sebagai penulis narasi itu dengan nama seseorang lain. Misalnya, ketika pembicara/penulis mengatakan: “Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini … dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (Surat 27:91), seseorang mungkin akan bertanya siapakah yang berbicara – Allah atau seorang penulis ? Bagaimana mungkin pernyataan-pernyataan tersebut sudah ada dalam sebuah buku di surga sebelum terciptanya alam semesta?
Beberapa sejarahwan telah berusaha membuktikan bahwa Alquran tidak ditulis oleh Muhammad dan juga tidak ditulis pada masa Muhammad masih hidup. Mereka mengatakan bahwa pada kenyataannya Muhammad adalah seorang buta aksara. Menurut mereka, buku yang kami sebut Alquran pada saat ini merupakan suatu hasil karya beberapa orang Islam yang setia, dibawah petunjuk seorang kalifah, yang setelah kematian Muhammad, merasa bahwa mereka membutuhkan buku suci seperti halnya dengan umat Kristen dan Yahudi yang juga mempunyai buku suci bagi agama mereka; dan dengan demikian mereka berusaha mengumpulkan kembali apa yang telah diajarkan Muhammad kepada mereka sebelum dia meninggal dunia. Sebagian dari koleksi tersebut berasal dari ajaran Muhammad yang ditulis pada kertas kulit dan yang disimpan sebelum kematiannya. Menurut Hadis, beberapa fragmen dikoleksi dari “lempengan-lempengan batu, tulang-tulang daun palem, tulang-tulang belikat dan tulang-tulang rusuk unta, potongan-potongan papan, dan dari ingatan orang-orang yang telah mendengarkan ajaran Muhammad.2 Usaha pertama untuk mengkompilasi Alquran dilakukan oleh anak perempuan Muhammad, Fatimah, yang harus memperdebatkan beberapa fakta dengan para pengikut ayahnya karena ada beberapa versi yang mereka ucapkan secara berbeda. Isteri Muhammad, Hafsa, juga membantu pengkompilasian tersebut. Namun demikian, proses terakhir dari usaha pengkompilasian tersebut dipercayakan kepada Zaid ibn Thabit, seorang yang dianggap sebagai editor.
Karena lebih banyak penggunaan kata ganti ‘kami’ dan ‘saya/aku’ dalam narasi Alquran, kami berasumsi bahwa ada suatu makhluk yang menyerahkan ilham ilahi kepada Muhammad, dan makhluk ini disebut “Allah” dalam bahasa Arab, dan bahkan ketika Alquran ditulis oleh para pengikut Muhammad setelah kematiannya, mereka akan dapat mengingat beberapa kata yang diucapkan oleh Muhammad ketika dia dapat ilham Ilahi untuk melantunkan Alquran.
Asumsi ini diperlukan karena dapat membantu kami untuk logika berpikir kami. Jika kami menerima Alquran sebagai ilham Ilahi yang diturunkan oleh suatu makhluk, kami tidak perlu takut mengidentifikasi makhluk tersebut. Jika kami mengatakan sejak semula bahwa tidak ada makhluk supernatural yang berbicara kepada Muhammad atau paling tidak memberinya inspirasi untuk mengatakan apa yang dinyatakannya sebagai firman Allah, kita tidak punya pilihan lain kecuali menyingkirkan seluruh isi Alquran dan menyatakan bahwa Muhammad adalah pembohong dan penipu yang paling berhasil yang pernah ditemukan di dunia. Hal ini dikarenakan dalam seluruh Alquran, Allah dikutip secara terus-menerus sebagai seseorang yang berbicara, bahkan dengan menggunakan kata ganti “kami” yang menggambar Pribadi atau Ilahi yang sangat menakutkan dan sangat berwibawa.
Seandainya, kami menerima bahwa ada satu Allah yang berbicara kepada Muhammad atau memberi inspirasi kepadanya. Masalah yang kami hadapi, secara mendasar, yaitu apakah Allah yang malaikatNya memberikan Alquran kepada Muhammad tersebut adalah sama dengan Yahweh dalam Alkitab atau tidak.
Kami tidak ingin mempengaruhi anda dengan pendapat kami. Kami percaya bahwa dalam buku ini terdapat banyak fakta yang memampukan anda untuk menarik kesimpulan anda sendiri. Namun demikian, penting kiranya bagi pembaca yang beragama Islam untuk bersikap jujur kepada diri sendiri dan membaca buku ini secara menyeluruh karena hal ini merupakan suatu perkara yang serius yang mempunyai konsekuensi kekal untuk jiwa anda.
No comments:
Post a Comment