“Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:32).
Setiap pemikir serius pasti akan setuju bahwa kebenaran pada dasarnya bersifat tidak mengenal toleransi kecuali kalau seseorang menganut paham synkretisme1, yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang ingin menghindari diri dari kesulitan yang berkaitan dengan agama (catatan: synkretisme adalah suatu kepercayaan/ paham yang mengajarkan bahwa terdapat kebenaran dalam semua agama: bahwa setiap orang menyembah/beribadah kepada Tuhan dengan cara sendiri-sendiri, dan bahwa semua agama/kepercayaan pada pokoknya menyembah kepada Tuhan yang sama). Kebenaran tidak mengenal toleransi terhadap kebohongan (tidak berkompromi dengan kebohongan). Jika dosis besar kebohongan telah terjadi dalam waktu lama, sungguh sulit untuk mengatasinya.
Setiap pemikir serius pasti akan setuju bahwa kebenaran pada dasarnya bersifat tidak mengenal toleransi kecuali kalau seseorang menganut paham synkretisme1, yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang ingin menghindari diri dari kesulitan yang berkaitan dengan agama (catatan: synkretisme adalah suatu kepercayaan/ paham yang mengajarkan bahwa terdapat kebenaran dalam semua agama: bahwa setiap orang menyembah/beribadah kepada Tuhan dengan cara sendiri-sendiri, dan bahwa semua agama/kepercayaan pada pokoknya menyembah kepada Tuhan yang sama). Kebenaran tidak mengenal toleransi terhadap kebohongan (tidak berkompromi dengan kebohongan). Jika dosis besar kebohongan telah terjadi dalam waktu lama, sungguh sulit untuk mengatasinya.
Jadi, kalau seseorang mengatakan bahwa Allah sesembahan umat Muslim bukan Tuhan umat Kristen, siapakah sesungguhnya Tuhan umat Kristen tersebut? Bagaimana dengan Alkitab yang berbahasa Arab, berbahasa Hausa dan berbahasa Fulani yang juga menggunakan nama ‘Allah”? Apakah mereka harus menyingkirkan nama itu dan menggantinya dengan nama lain untuk nama Tuhan yang Maha Suci pencipta langit dan bumi tersebut?
Perubahan tersebut mungkin tak mudah dilakukan dan kalaupun dilakukan akan memakan waktu lama untuk membuat umat Kristen di daerah-daerah tersebut di atas mempercayai nama ‘Tuhan’ pengganti nama ‘Allah’ itu. Seseorang akan bertanya-tanya tentang bagaimana asal mula kejadiannya sampai bahasa Hausa itu menjadi bahasa yang sangat bernuans Islam. Di Nigeria Utara, hampir setiap kalimat dalam bahasa Hausa dibubuhi kata ‘Allah’. Tidak banyak orang yang tahu bahwa sesungguhnya kata ‘Allah’ bukanlah kata bahasa Hausa. Seorang biarawati Kristen bahkan mengatakan kepada saya dalam suatu persekutuan rohani yang diadakan beberapa waktu yang lalu bahwa ‘Allah’ adalah kata bahasa Hausa yang berarti Tuhan yang Maha Kuasa. Kami tahu bahwa hal tersebut tidak benar. Kami yakin bahwa dalam bahasa Hausa, sebelum Islam masuk, juga sudah dikenal suatu nama yang berarti Tuhan.
Dalam dua bab berikut ini, kami akan mencoba mencermati hubungan antara sebuah kata dengan referennya (acuannya). Misalnya, kalau seorang Muslim mengucapkan kata ‘Allah’ tentunya ada suatu maujud atau roh tertentu yang diacunya atau yang menjadi referen dari kata ‘Allah’ yang diucapkannya itu. Manakala seorang Kristen Arab atau Kristen Hausa mengucapkan kata ‘Allah’, siapakah atau maujud apakah yang diacunya? Apakah maujud yang diacunya tersebut sama dengan maujud yang diacu oleh seorang Muslim manakala orang Muslim tersebut mengucapkan kata ‘Allah’?
Menurut salah satu teori makna dalam suatu aspek linguistik yang dikenal sebagai semantik (arti makna), sebuah kata mengacu pada referennya. Referen artinya obyek atau maujud yang diacu oleh sebuah kata – maksudnya obyek atau maujud yang dibayangkan oleh seseorang ketika dia mengucapkan kata tertentu. Keterandalam linguistik dari teori tersebut memang bukan urusan kami di sini, namun dengan memanfaatkan teori makna, kami akan menanyakan: Siapakah obyek/maujud yang menjadi sesembahan dalam Islam?
Dengan segala kejujuran, kami tidak meragukan bahwa sebagian besar umat Muslim yang mengucapkan ‘Allah’ pasti dalam pikiran mereka terbayang maujud Sang Pencipta langit dan bumi. Tetapi apakah hal tersebut sudah cukup untuk menunjukkan bahwa mereka menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan sesembahan umat Kristen? Bagaimana kalau sebutan ‘setan’ digunakan oleh beberapa orang bodoh manakala pikiran mereka membayangkan maujud dari Sang Pencipta langit dan bumi, apakah bedanya? (maksudnya maujud yang menjadi referennya sama yaitu Sang Pencipta langit dan bumi namun umat Muslim menyebutnya ‘Allah’ sedangkan orang-orang bodoh menyebutnya ‘setan’, apakah bedanya?). dan bagaimana kalau seseorang mengimani suatu hal yang salah tetapi dia menjalankan keimanannya itu dengan setulus hati? Apakah hal tersebut merupakan masalah?
Kami percaya bahwa menjalankan keimanannya dengan ketulusan hati yang 100% tidak berarti bahwa keimanannya itu merupakan keimanan yang benar. Seseorang mungkin saja dalam ketulusannya melakukan sesuatu yang salah. Kami tahu bahwa setiap budaya dan bangsa mempunyai konsep mengenai adanya sang pencipta alam yang disebut dengan berbagai nama yang berbeda. Namun masalah yang dihadapi oleh sebagian besar dari budaya dan bangsa-bangsa tersebut adalah mereka tidak mempunyai konsep khusus tentang sang pencipta semacam itu. Beberapa budaya dan bangsa-bangsa itu itu bahkan mempunyai lebih dari satu pencipta alam. Mereka berpikir bahwa sang pencipta itu adalah dewa baal yang tertinggi kedudukannya, jadi mereka mengukir berbagai patung-patung untuk menggambarkannya. Mereka membuat dewa pencipta alam yang mereka rekayasa sendiri dalam maujud patung/gambar yang bahkan lebih jelek dari rupa mereka, dan bahkan mereka memberi makan dewa tersebut dengan minyak palma, daging kambing dan darahnya, ayam, dan lain-lain.
Tetapi Elohim berkata: “Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu atau kambing jantan dari kandangmu, sebab punyaKulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung. Aku kenal segala burung di udara, dan apa yang bergerak di padang adalah dalam kuasaKu. Jika Aku lapar, tidak usah Kukatakan kepadamu, sebab punyaKulah dunia dan segala isinya. Daging lembu jantankah Aku makan, atau darah kambing jantankah Aku minum?” (Mazmur 50:9-13).
Menurut Kitab Suci, orang-orang yang mengabaikan Alkitab dan ‘membuat’ gambaran Tuhan atau dewa-dewa akan menerima hukuman Tuhan, appaun budaya mereka dan apapun kosmologi yang mereka anut/ikuti: “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Elohim nyata bagi mereka sebab Elohim telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari padaNya, yaitu kuasaNya yang kekal dan keElohimanNya, dapat nampak kepada pikiran dari karyaNya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Elohim, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Elohim atau mengucap syukur kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka menggantikan kemuliaan Elohim yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar” (Roma 1:19-23).
Sebagian orang-orang Kristen bahkan berpikir bahwa berhala-berhala itu tidak ada apa-apanya (maksudnya mereka menganggap bahwa berhala-berhala itu hanya sekedar benda mati tidak ada apa-apanya, mengapa mesti dipermasalahkan) ; kami tahu bahwa pendapat tersebut tidak benar. Memang berhala itu sendiri tidak ada apa-apanya hanyalah benda mati seperti kayu, tanah liat, besi, tembaga, dan lain-lain. Namun manakala orang-orang membuat sebuah patung berhala, dan kemudian mereka berkumpul bersama untuk menyembah/ memujanya, setan mengirim roh-roh jahat untuk hinggap di sekitar altar tempat pemujaan berhala tersebut dan mempengaruhi kehidupan semua orang yang telah datang berkumpul untuk melakukan pemujaan tersebut. Roh-roh jahat itu seringkali memiliki imam laki-laki dan imam perempuan sendiri dan kadang-kadang roh-roh jahat itu berbicara melalui imam-imam tersebut kepada para pengikut mereka, bahkan beberapa roh jahat minta korban-korban atau meramalkan nasib para pengikut mereka di masa-masa mendatang (bacalah 1 Korintus 10:19-21). Semua orang yang memuja berhala-berhala semacam itu akan dipengaruhi/terikat seumur hidup oleh roh-roh jahat yang merasuki patung-patung berhala itu, kecuali kalau mereka bertobat dan didoakan secara spesifik dan dilepaskan dari ikatan roh-roh jahat itu oleh kuasa Yesus Kristus.
Umat Kristen sebagai orang-orang yang mengimani Alkitab telah seringkali dituduh sebagai orang-orang yang berpikiran sempit mengenai agama yang benar. Dalam hal tertentu, penuduh-penuduh kita benar karena jalan ke surga memang sungguh-sungguh ‘sempit’ dan ‘sulit’ (Matius 7:14). Faktanya adalah bahwa kita tidak perlu mengembangkan suatu pandangan mengenai agama yang benar di luar pandangan firman Elohim yang telah disuratkan, karena Roh Kudus menjadi saksi bagi kita bahwa kita memperoleh kehidupan kekal dan oleh karena itu pandangan-pandangan kita tetap sempit (maksudnya pandangan firman Elohim tentang keimanan dan keselamatan sudah merupakan pandangan yang paling klimaks sehingga pandangan manusia tentang hal tersebut bagaimanapun berkembangnya tetap sempit dibandingkan dengan firman Elohim).
Dalam usahanya mencari dukungan untuk menolak pandangan Kristen tentang agama-agama lain, teman kita, Ahmed Deedat, dengan mengutip salah satu dari tokoh-tokohnya, mengatakan, “Tidak pernah ada tuhan yang palsu dan tidak pernah ada agama yang palsu, kecuali kalau kita menyebut seorang anak sebagai manusia palsu”.2
Alur berpikir seperti itu tentu saja salah kecuali kalau hanya sekedar pada tataran luarnya saja. Kita dapat menggunakan pernyataan Alquran sendiri untuk menolak argumentasi Deedat tersebut. Misalnya, dalam Surat 3:19, tertulis, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. Itu berarti bahwa ada agama yang benar. Dan kalau ada agama yang benar pasti ada agama yang tidak benar/palsu.
Kalau begitu apakah agama yang tidak benar itu? Karena Tuhan adalah suci dan manusia berdosa, kami mendefinisikan suatu agama yang tidak benar adalah agama yang tidak memberi jawab atas masalah dosa; suatu agama yang tidak melepaskan manusia dari belenggu kebohongan, perzinahan, kesombongan, persundalan, rasa takut dan segala macam bentuk kejahatan namun yang justru menjanjikan euphoria baik di dunia maupun di akhirat. Itulah yang harus dianggap sebagai agama yang tidak benar.
Dalam apendiks dan komentarnya mengenai berhala-berhala Arabia pada zaman pra-Islam seperti yang dimaksud dalam Surat 71:23, Yusuf Ali menyebutkan berhala-berhala tersebut sebagai ‘tuhan-tuhan yang palsu’. Jadi, bertentangan dengan deedat dan filosofinya, Yusuf Ali mengatakan bahwa sesungguhnya memang ada tuhan-tuhan yang palsu.
Bukti lain dalam Alquran yang menolak argumentasi Ahmed Deedat terdapat dalam Surat 16:36, yang menyatakan, “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu” (thaghut adalah setan dan apapun yang disembah selain Allah s.w.t) (Terjemahan M.M. Pickthall). Drs. Muhammad Al-Hilali dan M. Muhsin Khan menyebutnya ‘dewata/allah palsu’.
Sudah tentu, bisa saja terdapat seorang tuhan yang palsu dan bahkan seorang manusia palsu. Setiap realitas dapat menampilkan suatu kepalsuan. Segala sesuatu yang nampaknya riil tetapi sesungguhnya tidak demikian, disebut palsu atau tiruan. Misalnya, tidak seorangpun pernah melihat Tuhan, jadi setiap penggambaran maujud Tuhan yang dibuat manusia merupakan suatu peniruan/pemalsuan dari maujud Tuhan yang sesungguhnya. Bahkan ketika roh-roh jahat menunjukkan diri mereka kepada manusia, mereka merubah sosok penampilan mereka yang asli. Roh jahat dapat menampilkan dirinya dalam berbagai maujud sesuai dengan waktu penampilannya. Setiap gambar grafik dari setan adalah palsu karena setan selalu merubah bentuk penampilan fisiknya.
Jadi siapakah yang disebut sebagai penyembah tuhan (ilah) yang palsu? Orang yang menyembah berhala adalah orang yang disebut sebagai penyembah tuhan (ilah) yang palsu. Jika sebuah berhala merupakan perwujudan dari Tuhan atau tuhan (ilah) yang palsu, dan para penyembahnya tidak pernah melihat maujud semacam itu secara kenyataan, hal itu berarti bahwa berhala tersebut merupakan tuhan (ilah) yang palsu. Sebuah boneka, tidak peduli bagaimanapun indahnya, tetap merupakan seorang anak palsu, dan boneka manusia disebut manusia palsu (tiruan).
Di samping gambaran secara fisik, jika seorang manusia membayangkan ‘Tuhan’ yang berbeda dengan Tuhan alkitabiah (Elohim) dan kemudian menyembah ‘Tuhan’ semacam itu, tidak peduli bagaimanapun tulusnya dia melakukan penyembahan/ibadahnya terhadap ‘tuhan’ itu, dia sama saja seperti seorang yang telah membuat sebuah gambar/patung yang menampilkan maujud Tuhan. Setiap ‘Tuhan’ yang merupakan hasil imajinasi semacam itu merupakan tuhan (ilah) yang palsu. A.W. Tazer berkata, “Jangan mencoba membayangkan Tuhan atau anda akan memiliki Tuhan yang bersifat imajinasi”.
Elohim telah menyatakan DiriNya melalui FirmanNya dan dalam maujud Yesus Kristus. Kita tahu bahwa hanya ada satu Tuhan (Elohim), jadi tuhan-tuhan lain yang digambarkan/dipatungkan dan dibayangkan dalam pikiran manusia adalah tuhan-tuhan yang palsu. Perlu kami tandaskan bahwa seorang yang membayangkan suatu tuhan atau menggambarkan/mematungkan tuhan disebut orang yang berimajinasi. Patung/ berhala secara fisik adalah hasil dari imajinasi tentang suatu maujud yang ada dalam pikiran seorang seniman (pembuat patung/berhala). Jadi, gambaran secara fisik maupun secara mental dapat juga merupakan perwujudan dari imajinasi seseorang yang berkaitan dengan tuhan yang palsu.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, Gideon merobohkan patung-patung dari tuhan palsu (baal) yang terdapat di negeri Israel sebagaimana yang dicatat dalam Bab dua buku ini. Dalam Kitab Perjanjian Baru, Elohim tidak pernah memerintahkan agar umat Kristen mendatangi setiap rumah untuk menghancurkan berhala-berhala yang dimiliki masyarakat. Mengapa? Karena hal tersebut merupakan suatu perbuatan yang sia-sia jika imajinasi mengenai tuhan yang palsu masih bercokol dalam pikiran mereka.
Dan itulah sebabnya Alkitab sering berbicara mengenai penyingkiran ide-ide yang salah tentang Tuhan dari pikiran atau imajinasi umat manusia, dan Alkitab juga menyampaikan kepada mereka ide-ide yang benar tentang Sang Pencipta dan karya ciptaanNya. Inilah tugas pertama dari umat Kristen, dan tugas khusus bagi penulis buku ini. Elohim memanggil kita untuk terlibat dalam penentangan terhadap pemujaan patung berhala secara besar-besaran pada zaman akhir ini, melenyapkan tuhan-tuhan palsu dan surga-surga palsu dari pikiran umat manusia. Meminjam ungkapan dari Jock Anderson, kami mendesak bahwa, “Apabila Tuhan itu ada, kita tidak perlu membuat karikatur mengenai diriNya, tetapi kita harus merepresentasikanNya secara benar dan memanfaatkan sarana-sarana untuk mengenaliNya”.3
Nama Tuhan
Elohim berkata kepada Musa bahwa namaNya adalah “Aku ada Yang Aku ada”, nama tersebut tidak diberitahukan oleh Elohim kepada Abraham dan orang-orang yang telah melayaniNya sebelum Musa. Katakan kepada orang-orang Israel “Aku ada (Elohim) telah mengutus aku (Musa) kepadamu: (keluaran 3:14). Hal tersebut barangkali nampaknya aneh. Sesungguhnya Tuhan tidak memerlukan nama diri karena tidak ada Tuhan lain kecuali Dia. Semua yang disebut ‘Tuhan’ oleh orang-orang kafir adalah berhala-berhala dan mereka tidak lain adalah roh-roh jahat yang hari penghukuman bagi mereka telah lama ditetapkan (1 Korintus 10:19-20; Matius 8:29).
Di sinilah letak kesalahan ‘Para saksi Yehova’. Mereka tidak pernah menggunakan nama Tuhan lain kecuali Yehova. Kita tahu bahwa hanya para penerjemah Kitab Perjanjian Lama berbahasa Ibrani kunolah (Masoret) yang menggunakan nama Yehova. Para penerjemah Alkitab versi King James menggunakan nama ‘TUHAN’ (ditulis dalam huruf besar). Dikatakan bahwa nama Yehova aslinya diucapkan Yahweh atau Jahweh yang ditulis tanpa bunyi hidup (ditulis YHWH). Karena takut akan kemungkinan melanggar perintah Tuhan yang ketiga yang berbunyi, “Jangan menyebut nama Tuhanmu dengan sia-sia”, orang-orang Israel kemudian menggantikan ucapan Yahweh tersebut dengan Elohim, terutama dalam percakapan.
Tuhan pasti menyatakan Nama DiriNya, namun yang lebih penting adalah hakikat keilahianNya dan FirmanNya serta Hukum-HukumNya. Jika ada banyak nama bagi Tuhan, nama-nama tersebut HARUS mengacu pada Tuhan alkitabiah (Elohim) kalau tidak berarti nama-nama tersebut bukanlah nama Tuhan sama sekali. Tuhan Surgawi disebut dengan berbagai nama dalam berbagai bahasa, namun hal itu tidak merintangi secara signifikan hubungan dan pemahaman mereka mengenai Tuhan karena memang Tuhan dengan sengaja telah mengacaukan bahasa mereka (yang semula satu) menjadi berbagai bahasa. Dia mungkin tidak mengharapkan penggunaan satu nama bagiNya yang harus diucapkan oleh semua bangsa yang ada di dunia.
Namun masih tetap signifikan untuk dicatat bahwa dalam bahasa Ogu (nama yang sangat popular dari bahasa ini adalah Egun walaupun sebetulnya salah ucapan), yaitu bahasa yang digunakan di Badagry di Nigeria dan di Republik Benin, orang menyebut nama Tuhan sebagai JEWHE atau YEWEH dan MAWU. Kami mencatat bahwa dua nama pertama tersebut kedengarannya seperti dalam bahasa Ibrani yaitu Yahweh dan Jahweh. Huruf j=y=I dan m=v=u dalam kelompok-kelompok bahasa tertentu memang merupakan kaidah yang telah ditetapkan. Dan masyarakat pengguna bahasa Ogu telah memiliki tiga nama Tuhan tersebut bahkan sebelum bangsa-bangsa Eropa mempunyai rencana untuk datang ke Afrika dengan membawa Alkitab. Bahkan ketika mereka tiba mereka tidak memperkenalkan nama Tuhan dalam bahasa Ibrani, namun hanya kata-kata ‘Tuhan’ dan ‘Yesus’. Oleh karena itu, sudah pasti Tuhan menyatakan DiriNya sendiri kepada barangsiapa yang sungguh-sungguh mencari Dia dengan iman (Ibrani 11:6).
Para sejarawan, seperti Vaqqidi, telah menyatakan bahwa Allah sesungguhnya adalah nama dewa yang paling berkuasa/utama dari 360 dewa baal yang disembah di Arabia pada masa Muhammad mulai mengembangkan misinya. Ibn-Al-Kalbi menyebutkan 27 nama dewa baal yang disembah pada zaman pra-Islam. Dari Alquran sendiri, kami dapat menemukan sampai sembilan nama dari dewa-dewa baal tersebut. Kaabah, rumah dari para dewa baal tersebut, kemudian dijadikan bangunan suci bagi Allah di mana umat Muslim melakukan pemujaan dan beribadah serta menciumnya selama mereka menunaikan ibadah haji di Mekah. Kaabah sangat penting artinya bagi umat Muslim karena sekalipun mereka tidak berada di Mekah mereka selalu berkiblat ke Mekah setiap kali mereka melakukan salat (sembahyang wajib). Sejarah mencatat bahwa para penyembah berhala di Arabia telah mengunjungi Kaabah untuk melakukan pemujaan mereka kepada dewa-dewa baal mereka jauh hari sebelum munculnya agama Islam. Pada masa itu Mekah menjadi pusat perdagangan, dan banyak saudagar asing maupun Arab berkiblat ke Kaabah dalam sembahyang mereka karena di sanalah bersemayam dewa-dewa baal mereka. Banyak di antara baal-baal tersebut dibawa langsung dari negeri asal para saudagar tersebut.
Hal yang menarik adalah bahwa sebagian dari umat Muslim tidak mau menerima kenyataan bahwa Allah pernah disembah di Kaabah, Mekah oleh para penyembah berhala bangsa Arab sebelum Muhammad datang ke dunia. Beberapa orang Muslim marah sekali ketika mereka dihadapkan pada kenyataan ini. Namun kenyataan sejarah memang tidak bisa mereka sangkal lagi. Literatur pra-Islam telah membuktikan hal tesrebut. Dalam Alquran sendiri, kami membaca bahwa orang-orang Arab zaman pra-Islam bersumpah dengan nama Allah karena mereka percaya bahwa Allah adalah dewa baal mereka yang paling berkuasa/utama (Surat 6:109). Allah sudah dianggap oleh para penyembah berhala tersebut sebagai sang pencipta dan tuhan yang mereka puja di tempat pemujaan mereka yang terdapat di Kaabah di kota Mekah. Kaabah dikenal sebagai ‘baithu’llah’ (rumah allah). Semua dewa baal yang terdapat di wilayah-wilayah lain di Arabia juga disebut ‘baithu’llah’ (Surat 106:3; 27:91; 6:109). Selain Allah, di Kaabah, Mekah juga terdapat tiga dewi baal utama yang disembah yaitu Al-lat atau Allat, bentuk feminism dari kata bahasa Arab ‘Allah’, al-Uzza serta al-Manat. Menurut Al-Tabari, dewi-dewi baal bahkan dianggap sebagai anak-anak perempuan Allah. Berhala-berhala yang popular lainnya adalah Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, Nasr dan Hubal, yang oleh Khadijah, isteri Muhammad, juga disembah dan diberikan korban karena anak-anak laki-lakinya meninggal dunia dalam usia muda (Surat 71:23; juga dalam buku The Life of Muhammad, halaman 69, yang ditulis oleh Mohammed Haykal).
Bukti lain yang menunjukkan bahwa Allah telah disembah sebagai dewa baal di Arabia adalah adanya kenyataan bahwa ayah Muhammad sendiri bernama Abdallah atau Abdullah yang berarti abdi atau hamba Allah.
Beberapa orang menganggap bahwa justru hal tersebut menunjukkan bahwa memang Allah adalah Tuhan yang Maha Kuasa. Mana mungkin demikian karena hal tersebut hanya memperlihatkan bahwa Allah memang sudah dikenal di Arabia sebagai mahluk supernatural. Mahluk supernatural tidak membuktikan bahwa dia adalah Tuhan yang Maha Kuasa.
Ibn Ishaq adalah penulis biografi Muhammad yang pertama kali dan karyanya diberi judul Surahtu’l Rasul (768 sesudah Masehi), buku tersebut sudah pernah kita jadikan acuan sebelumnya. 4 Buku Surahtu’l Rasul adalah salah satu dari catatan riwayat hidup Muhammad yang paling otentik. Dalam buku ini, kita dapat membaca bahwa Abdul Muttalib, Kakek Muhammad dari pihak ayah, telah bersumpah untuk mempersembahkan anaknya (ayah Muhammad) kepada Allah kalau sekiranya Allah melindungi proyek air Zamzam yang dikelolanya dari rongrongan penduduk yang menentang proyek tersebut. Ketika proyeknya ternyata berhasil dan dia juga mempunyai beberapa anak laki-laki, dia lalu membawa anak-anak laki-lakinya ke Kaabah dan berdiri di samping dewa baal yang bernama Hubal untuk memanjatkan doa kepada Allah, sementara membuang undi di hadapan dewa baal Hubal untuk menentukan anak laki-lakinya yang mana yang akan dipersembahkan, undian akhirnya jatuh pada Abdullah. Abdullah kemudian dibawa kepada dua dewa baal yang lain yaitu Isaf dan Na’ila untuk disembelih. Beberapa orang memprotes hal tersebut, dan mereka kemudian mencari jalan lain untuk memperoleh petunjuk lebih lanjut mengenai apa yang harus mereka lakukan. Abdullah kemudian dibawa ke “Hijaz, karena di sana ada seorang ahli sihir wanita yang mempunyai jin (roh setan)”. Penyihir wanita itu memerlukan waktu beberapa lama untuk berkonsultasi dengan jinnya itu untuk mencari tahu petunjuk Allah mengenai Abdullah, apakah dia akan tetap disembelih sebagai korban buat Allah atau tidak. Sementara menunggu jawaban dari jin tersebut, mereka meninggalkan penyihir wanita itu. Pada saat itu Abdul Muttalib tetap berdoa kepada Allah. Ketika keesokan harinya mereka kembali menemui penyihir wanita itu, dia mengatakan bahwa dia sudah mendapat jawaban dari jinnya. Menurut jinnya, sebagai ganti nyawa Abdullah, beberapa ekor unta harus dikorbankan sampai Allah puas. Mereka kemudian melakukan apa yang dikehendaki Allah melalui jin itu. Namun sejak saat itu hidup Abdullah diabdikan kepada Allah. Abdullah menjadi dewasa dan menurunkan (memperanakkan) Muhammad.
Dari peristiwa yang dinyatakan dalam kehidupan kakek Muhammad tersebut, kami ingin mengetahui siapakah ‘tuhan’ tersebut? Apakah dia Allah? Dan bagaimana dengan dewa baal Hubal?
Pockock berpendapat bahwa kata ‘Hubal’ mungkin berasal dari Ha-Baal atau Hu-Baal dalam bahasa Ibrani berarti ‘tuhan’. Ha-Baal tersebut adalah tuhan bangsa Moab yang kemudian disembah oleh bangsa-bangsa lain termasuk oleh orang-orang Israel. Elohim kemudian memusnahkan orang-orang Israel yang terlibat dalam penyembahan kepada tuhan bangsa Moab tersebut (Bilangan 25:1-3). Dari laporan Ibn Ishaq dapat disimpulkan bahwa berdoa kepada Allah sama dengan berdoa kepada Hubal. Secara praktis Allah dan Hubal adalah sama, karena Ha-Baal atau Hu-Baal artinya ‘tuhan’, demikian juga ‘al-ilah atau al-lah’ juga berarti ‘tuhan’.
Suatu hal yang menarik adalah bahwa banyak pemimpin-pemimpin Islam takut untuk melakukan penelitian menyeluruh mengenai asal-asul Islam, terutama, agama bangsa Arab pada zaman pra-Islam, karena mereka khawatir kalau-kalau mereka akan menemukan sesuatu hal yang akan menyebabkan keimanan Islam mereka akan hilang/pudar. Karena mereka telah menolak melakukan penelitian semacam itu, ilmuwan-ilmuwan Barat kemudian melakukan penelitian bagi mereka.
Kami berharap para pembaca Muslim mau mengkaji pertanyaan-pertanyaan berikut secara serius. Mengapa Islam menganggap bulan adalah suci? Mengapa banyak ahli perbintangan yang adalah imam Muslim? Apakah hubungan antara agama Islam dan Allah dengan simbol-simbol bintang dan bulan sabit seperti yang banyak terlihat di atas menara-menara dan kubah-kubah mesjid yang ada di mana-mana, dan yang juga terdapat pada bendera-bendera negara-negara Islam? Apakah hubungan antara ‘Bulan’ dan ‘puasa Ramadhan’?
Professor A. Guilluame, seorang ahli dalam bidang kajian agama Islam, menyatakan bahwa penyembahan pada dewa bulan sudah menjamur dan tersebar luas di kalangan masyarakat Arabia pada masa Muhammad. Menurut professor Guilluame, dewa bulan mempunyai beberapa nama, salah satunya adalah ‘Allah’.
Juga ilmuwan Timur Tengah yang bernama E.M. Wheery, dalam buku hasil karya monumentalnya yang berjudul A Comprehensive Commentary on the Quran (Suatu Komentar Komprehensif mengenai Alquran) menunjukkan bahwa penyembahan kepada Allah dan penyembahan Ba-al (Huba’l) melibatkan penyembahan kepada benda-benda angkasa seperti bulan, bintang-bintang dan matahari.
Jadi, kembali pada isu mengenai ayah Muhammad yang adalah putera dari Abdul Muttalib yang menyandang nama ‘Abdallah atau Abdullah’ nampaknya sama seperti orang-orang Nigeria yang menyandang nama Sangoloni (artinya Sango memiliki ini), Esubiti (artinya anak setan), Orogbemi (artinya Oro memuliakan aku), Ifagbamila (artinya Ifa telah menyelamatkan aku), Odugbemi (artinya Odu memuliakan aku), Ogungbe, dan lain-lain. Semuanya itu adalah nama-nama Yoruba yang diberikan kepada anak-anak dari keluarga penyembah berhala dan semua hal tersebut tidak ada hubungannya dengan Tuhan yang Maha Kuasa, tetapi berhubungan dengan berhala-berhala yang dipuja-puja masyarakat sebagai tuhan-tuhan yang mereka sujudi.
Oleh karena itu, kami menyampaikan bahwa kenyataan mengenai seseorang itu disebut Abdallah atau Abdullah bukan merupakan suatu bukti bahwa ‘Allah’ adalah Tuhan yang Maha Kuasa seperti yang dimaksud Alkitab (Elohim). Hal itu hanya membuktikan bahwa ‘Allah’ sudah dikenal sebagai mahluk supernatural sebelum agama Islam berawal; dan semua yang berwujud roh dapat disebut sebagai mahluk supernatural. Karena Abdallah mengabdi pada tempat pemujaan di Kaabah, Allah yang disujudinya tentunya salah satu dari tuhan yang bertahta di tempat pemujaan tersebut (Kaabah). Pandangan inilah yang barangkali paling mungkin dan masuk akal. Sang ayah adalah ‘Abn ul allah’, artinya abdi Allah, dan Sang anak adalah ‘rasul’llah’, artinya nabi/rasul Allah.
Elohim berfirman kepada Musa: “Akulah Elohim ayahmu, Elohim Abraham, Elohim Ishak dan Elohim Yakub” (Keluaran 3:6). Allah juga menyatakan dirinya kepada Muhammad sebagai sesembahan dari ayah Muhammad yaitu Abdallah. Pertanyaannya adalah siapa tuhan ini, maksudnya Allah yang disujudi oleh ayah Muhammad tersebut?
Memang benar bahwa orang-orang Mekah ingin membunuh Muhammad. Namun orang-orang Mekah tersebut tidak menentang penyembahan kepada Allah. Mereka memang sejak dahulu kala menyembah Allah tersebut. Mereka hanya menentang monopoli baru yang dipaksakan oleh Muhammad dengan cara-cara yang menurut perasaan mereka tidak pantas dilakukannya, yaitu Muhammad memaksakan hanya Allah saja yang berkuasa di atas tahta pemujaan, sementara tuhan-tuhan lain diabaikan. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Mekah mengancam kehidupan nabi/rasul baru tersebut. Dan karena Muhammad sudah mengetahui bahwa ayahnya adalah abdi Allah, logislah kalau Allah harus menjadi satu-satunya tuhan yang layak disembah. Tidak ada tuhan-tuhan lain yang pantas disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah rasulnya (La illaha in allah, Muhammad rasul’llah). Dengan mengangkat dirinya menjadi nabi atau abdi Allah, Muhammad barangkali telah mewujudkan suatu revolusi untuk menggantikan ayahnya yaitu Abdallah yang tidak pernah dikenalnya secara pribadi seumur hidupnya.
Elohim menyatakan diriNya kepada Abram dan memerintahkannya untuk pergi meninggalkan sanak saudara dan negerinya yang penuh dengan penyembahan berhala untuk menuju ke negeri yang akan ditunjukkan Elohim kepada Abram. Elohim sangat hati-hati untuk tidak mengatakan bahwa Dia adalah tuhan dari ayah Abram, Karena Terah, ayah Abram, adalah penyembah berhala.
Seandainya Abram hidup di Mekah, apakah Elohim akan menyatakan diriNya kepada Abram dengan menggunakan identitas Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan teologis. Abram meninggalkan kenajisan berhala dan mulai hidup dalam penyembahan kepada Elohim dengan iman. Dia dikenal sebagai bapa orang beriman, sehingga perkiraan umat Muslim bahwa dia pernah melakukan penyembahan terhadap sebuah batu sungguh merupakan hal yang tidak mungkin sama sekali. Barangkali dalam usaha untuk membenarkan penyembahan terhadap ‘bulan’, Alquran kemudian mengungkapkan bahwa Abram pernah menyebut ‘Tuhanku” sambil menghadap ke arah ‘bulan’ dan ‘matahari’. Umat Yahudi dan umat Kristen tahu benar bahwa Abraham tidak pernah menyembah atau memuja ‘bulan’; dan dia juga tidak pernah menyembah ‘batu hitam’ di Mekah.
Kami ingin bertanya kepada teman Muslim kami: Mengapa anda pergi mengunjungi Saudi Arabia untuk menari dan menyanyi sambil mengelilingi sebuah ‘batu’ jika anda mempunyai batu yang lebih besar di negara anda sendiri?
Seorang Muslim Afrika diberitahu bahwa batu-batu di desanya adalah berhala-berhala dan tidak boleh disembah atau diberi korban (sesaji); tetapi ‘batu’ di negara Saudi Arabia tersebut bukan berhala manakala batu itu disembah, dicium dan diberi korban. Setiap tahun, ratusan ribu orang membanjiri Mekah, menghabiskan uang untuk ongkos pesawat terbang dan untuk mengisi kas keuangan/perbendaharaan di Saudi Arabia dalam rangka menunaikan ibadah Haji. Banyak orang Muslim sungguh-sungguh berusaha dengan sepenuh hati dan tulus ikhlas, dan sebagian orang Muslim bahkan meminjam uang untuk dengan sabar mempertaruhkan semuanya untuk menantikan saat-saat menunaikan ibadah Hajinya. Mereka telah ditipu; batu-batu di daerah mereka sendiri adalah berhala-berhala, tetapi satu batu di Saudi Arabia bukan berhala, demikian isi pesan tersebut dan hal itu sangat sederhana, bukan?
Ketika Elohim mengirim Musa kepada umat Israel di Mesir, Musa diperintah Elohim untuk memperkenalkanNya kepada umat Israel sebagai Elohim dari nenek moyang mereka. Tetapi Elohim sangat hati-hati dalam menyebutkan nama-nama nenek moyang Israel yang dimaksudNya. Elohim berkata bahwa Dia adalah Elohim dari Abraham, Ishak dan Yakub (keluaran 3:6).
Orang-orang Mesir, tidak diragukan lagi, mempunyai satu nama bagi suatu mahluk yang mereka anggap sebagai Pencipta langit dan bumi, dan umat Israel harus membiasakan diri dengan nama mahluk tersebut. Musa sendiri telah hidup di Mesir selama empat puluh tahun dan dia mengetahui segala sesuatu mengenai agama dan dewa-dewa tanah Mesir, namun Musa tidak datang kepada umat Israel dan mengklaim bahwa salah satu dewa terbesar/paling berkuasa di tanah Mesir telah menyatakan dirinya kepada Musa. Musa justru memperkenalkan nama yang sama sekali lain dengan nama dewa Mesir tersebut. Ketika dia menghadap firaun, dia tidak datang atas nama dewa Mesir yang paling berkuasa yang sudah lama diketahuinya, dia datang atas nama Tuhan lain yang baru saja dijumpainya yaitu Elohim. “Kemudian Musa dan Harun pergi menghadap Firaun, lalu berkata kepadanya: Beginilah firman Yahweh, Elohim Israel: Biarkanlah umatKu pergi untuk mengadakan perayaan bagiKu di padang gurun. Tetapi Firaun berkata: Siapakah Yahweh itu yang harus kudengarkan firmanNya untuk membiarkan orang Israel pergi? Tidak kenal aku Yahweh itu dan tidak juga aku akan membiarkan orang Israel pergi” (Keluaran 5:1-2). Firaun tidak mungkin berani mengajukan pertanyaan seperti yang dikemukakannya kepada Musa kalau seandainya Musa datang atas nama salah satu dari dewa-dewa Mesir yang ada.
Oleh karena itu kita salah kalau kita menganggap bahwa nama tidak ada apa-apanya (nama tidak penting).
Muhammad bangkit untuk menyampaikan sebuah pesan dari Allah, tuhan dari tempat pemujaan Kaabah, bahwa ayah Muhammad telah mengabdikan hidupnya bagi Allah. Dia menekankan bahwa hanya Allah yang harus disembah. Dengan kekuatan pasukannya, dia berhasil menaklukkan orang-orang Mekah. Meskipun pada saat hijrahnya yang ke dua dari Medinah ke Mekah semua berhala-berhala di dalam tempat pemujaan Kaabah telah disingkirkan, ritual-ritual yang bernuansa keberhalaan (kemusyrikan) seperti yang dipraktekkan di tempat pemujaan pada masa pra-Islam masih tetap dilakukan dengan cara yang sama sampai sekarang. Dalam suatu diskusi, seorang wanita mantan pemeluk agama Islam yang sekarang menjadi Kristen menceritakan pada saya secara pribadi bahwa ketika dia menunaikan ibadah Haji ke Mekah, dia menolak untuk melakukan ritual-ritual upacara di Kaabah karena dia merasakan bahwa upacara-upacara tersebut sarat dengan nuansa pemujaan berhala tradisional (kemusyrikan) yang dia dulu pernah terlibat di dalamnya. Akhirnya dia hanya menghabiskan waktunya berdiam diri di dalam hostel tempat dia menginap. Dia diberitahu bahwa menurut agama Islam, orang-orang Kristen dianggap sebagai orang-orang musyrik (maksudnya orang-orang Kristen dimasukkan dalam satu golongan dengan orang-orang penyembah berhala), karena umat Kristen dianggap menyembah Yesus (yang menurut agama Islam adalah manusia biasa) dengan penyembahan yang sama seperti mereka menyembah Tuhan. Namun dengan pengalamannya (maksudnya pengalaman wanita tersebut di atas) dalam mengikuti ritual-ritual keagamaan selama dia melaksanakan ibadah Hajinya, dia melihat sendiri bahwa agama Islam nampaknya merupakan suatu agama penyembah berhala monoteis yang terorganisasi dalam skala internasional. Menurut dia orang-orang Islam nampaknya malahan lebih musyrik daripada umat Kristen yang mereka tuduh sebagai orang-orang musyrik. Melihat kenyataan tersebut, dia kemudian mencari tahu lebih dalam mengenai keimanan Kristen, dan akhirnya dia bertobat dan menerima Yesus sebagai juruselamatnya.
Kami bertanya-tanya mengapa para pemeluk agama Islam tidak suka mengganti nama Allah dengan nama lain (maksudnya para pemeluk agama Islam dari bangsa manapun harus menyebut Allah kepada sesembahan mereka). Untuk mendapatkan jawabannya, dalam bab berikut ini kami akan meneliti lebih lanjut apakah suatu nama khusus sungguh-sungguh penting dalam beribadah.
No comments:
Post a Comment