Saturday, July 25, 2009

BAB XI - Apa Arti Sebuah Nama?

Seseorang mungkin akan bertanya mengapa kita harus mempedulikan tentang sebuah nama. Apa arti sebuah nama? Saya yakin ada banyak hal yang terkandung dalam sebuah nama. Alkitab berkata, “Nama Yahweh adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan dia menjadi selamat” (Amsal 18:10). Namun bagaimana orang dapat berlari menuju ke nama itu dan diselamatkan kalau dia tidak tahu nama itu sendiri? (artinya orang mau menuju ke suatu tempat tetapi dia tidak tahu tempat yang akan ditujunya itu).

Yesus memberi perintah kepada orang-orang Kristen (murid-muridNya) untuk membaptis orang-orang yang baru percaya kepadaNya “dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Matius 28:19). Kitab Suci juga menyatakan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia (Yesus), sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12). Yesus berkata: “Mereka (orang-orang yang percaya kepada Yesus) akan mengusir setan-setan demi namaKu” (Markus 16:17). Dapatkah nama Allah digunakan untuk mengusir roh-roh jahat?
Ada tertulis: “Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” (Filipi 2:10).

Apakah setan takut pada nama Allah? Jika tidak, nama tersebut sudah pasti bukan nama Tuhan yang dinyatakan oleh Yesus. Yesus berkata, “Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah namaMu” (Matius 6:9). Dalam doa tersebut Yesus tidak memberi kita nama apapun. Mengapa? Nama Elohim sebagai Bapa Surgawi merupakan suatu ilham di dalam hati seseorang yang telah menjadi anakNya. Barangkali tes pertama yang tidak dapat dikerjakan oleh Allah dari Muhammad adalah bahwa dia bukan seorang Bapa. Jika seorang Muslim mengatakan ‘Bapa kami yang ada di surga’, pasti hatinya akan segera memberontak untuk menentang hal tersebut. Orang Muslim tersebut tidak dapat melanjutkan doanya itu dengan hati yang ikhlas karena dia tidak memiliki Nama Bapa.

Bagi orang-orang yang mengatakan bahwa ‘Allah’ adalah nama Tuhan (Elohim) dalam bahasa Arab, kami ingin menandaskan bahwa masalahnya bukan sesederhana itu. ‘Allah’ bukan hanya sekedar sebuah terjemahan. Pastor Richard Wurmbrand mengatakan Elohim mempunyai banyak nama julukan. Apakah ‘Allah’ merupakan salah satu julukan Elohim? Apakah Elohim adalah oknum yang ada di balik nama Allah Islam tersebut? Setiap terjemahan dari nama Elohim tersebut harus mengandung muatan otoritas yang sama dengan Nama aslinya.

Mengapa ‘Isa’?
Para ahli bahasa dengan hati-hati mempertanyakan mengapa Alquran mengacu Yesus sebagai ‘Isa’. Kalau menurut prinsip-prinsip linguistik dari rumpun bahasa-bahasa Semit seperti bahasa Ibrani, bahasa Asyur, bahasa Aram, bahasa Arab, bahasa Etiopia, bahasa Funisia, ‘Isa’ sebetulnya bukan terjemahan bahasa Arab dari ‘Yesus’, Jesu, atau bahasa Yunani Iesous. Sesungguhnya yang benar adalah istilah yang digunakan oleh para penerjemah bangsa Arab yang menterjemahkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Arab yaitu Yesou atau Yesu.

Muhammad kemungkinan mengacaubalaukan/mencampuradukkan dengan nama ‘Esau’ yaitu nama yang diucapkan dengan nada mencemooh yang ditujukan untuk mengacu pada Yesus oleh orang-orang Yahudi yang tidak mempercayaiNya. Peristiwa itu terjadi di kota Yathrib. Karena orang-orang Yahudi menolak Yesus sebagai Tuhan dan Guru mereka, mereka menganggap Yesus sebagai satu tipe dengan Esau, saudara laki-laki yakub yang ditolak. ‘Isa’ atau Aisa atau Essa sebetulnya merupakan terjemahan dari kata ‘Esau’, namun karena Muhammad dalam kebingungannya menganggap bahwa ‘Esau’ adalah ‘Yesus’ maka akhirnya nama ‘Isa’ digunakan manakala Muhammad mengacu pada ‘Yesus’ yaitu Manusia yang dipandang oleh orang-orang Yahudi sebagai pendiri agama Kristen. Kekeliruan yang gamblang semacam itu lagi-lagi membuat orang bertanya-tanya mengenai keaslian nilai kesucian Alquran yang menurut mereka merupakan ilham Ilahi.

Kuasa Dari Sebuah Nama
Pemazmur menyatakan dalam suatu pujian: “Ya Yahweh, Tuhan kami, betapa mulianya namaMu di seluruh bumi” (Mazmur 8:2). Nama dalam bahasa Ibrani yang artinya sama dengan nama ‘Yesus’ adalah Joshua, Jeshua, atau Jeho-shua atau Jehovah-shua yang artinya, Yahweh menyelamatkan (Matius 1:21). Dalam bahasa Yunani disebut Iesous ho Christos. Versi bahasa Inggris disebut Jesus, the Christ; versi bahasa Yoruba disebut Jesu Kristi; versi bahasa Ogu (Egun) disebut Jesu klisti; 1 terjemahan dalam bahasa Hausa disebut Yesu; dan semua versi-versi lain yang mengacu pada Tuhan yang sama, mengandung muatan dan perwujudan fungsi yang sama – yaitu menyelamatkan dan melepaskan manusia dari dosa, sakit penyakit, setan dan roh-roh jahat.

Kami menyadari bahwa ada orang-orang lain pada zaman Yesus berada di dunia yang juga bernama Yesus. Namun jika nama Yesus Kristus atau Yesus diucapkan oleh seorang Kristen, dan itu mengacu pada Tuhan, hal itu berarti bahwa nama itu mempunyai fungsi yang sama manakala seorang Kristen lain mengucapkan kata ‘Yesus’ juga dan mengacu pada Tuhan yang sama pula. Sebagai orang yang percaya pada Yesus Kristus tidak ada satupun roh jahat akan menanyai saya mengenai ‘Yesus’ yang mana yang kamu maksud manakala roh-roh jahat itu saya usir dalam nama itu (Yesus). Bahkan ketika anak-anak Skewa, seorang imam kepala umat Yahudi memerintahkan beberapa roh jahat yang merasuki seorang gila agar roh-roh jahat itu pergi meninggalkan orang gila tersebut, roh-roh jahat itu tidak bertanya pada mereka Yesus yang mana karena roh-roh jahat itu sudah tahu siapa yang mereka maksud. Roh-roh jahat itu mengamuk mepada anak-anak Skewa tersebut karena anak-anak Skewa bukan orang-orang Kristen dan tidak mempunyai Roh Yesus Kristus di dalam diri mereka yang dapat mengusir roh-roh jahat.

Musa tidak memiliki nama Yesus. Tidak ada nabi-nabi lain yang menggunakan nama Yesus. Nama yang Yahweh berikan kepada Musa, sebagaimana yang pernah disebutkan sebelumnya, yaitu ‘Aku ada Yang Aku ada’, dan Musa menggunakan nama itu untuk membebaskan seluruh bangsa Israel, dan mengalahkan semua ahli sihir dan ahli ilmu gaib dari seluruh tanah orang kafir, Mesir. Seorang muda bernama Daud mengatakan kepada Goliat, “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama Yahweh semesta alam, Elohim segala barisan Israel yang kau tantang itu” (1 Samuel 17:45).

Jika nama Allah tidak dapat menyelamatkan atau membebaskan, apakah yang dapat dilakukan oleh nama tersebut? Menurut orang-orang yang telah mendalami ajaran Islam sebelum mereka bertobat dan percaya pada Yesus Kristus, nama Allah digunakan oleh para ahli ilmu gaib yang beragama Islam untuk memantrai (menjampi-jampi) dan untuk memelet (mengguna-gunai) orang. Nama juruselamat kami (Yesus) hanya digunakan untuk hal-hal yang memberi kebaikan buat kita.

Petrus mengatakan kepada para penguasa pemerintahan dan para ulama yang menangkap dia dan Yohanes: “Maka ketahuilah oleh kamu sekalian dan oleh seluruh umat Israel, bahwa dalam nama Yesus Kristus, orang Nazare, yang telah kamu salibkan, tetapi yang telah dibangkitkan Elohim dari antara orang mati – bahwa oleh karena Yesus itulah orang ini berdiri dengan sehat sekarang di depan kamu (semula orang tersebut lumpuh) … Ketika sidang itu melihat keberanian Petrus dan Yohanes dan mengetahui, bahwa keduanya orang biasa yang tidak terpelajar, heranlah mereka; dan mereka mengenal keduanya sebagai pengikut Yesus. Tetapi karena mereka melihat orang yang disembuhkan itu berdiri di samping kedua rasul itu, mereka tidak dapat mengatakan apa-apa untuk membantahnya. Dan setelah mereka menyuruh rasul-rasul itu meninggalkan ruang sidang, berundinglah mereka dan berkata: Tindakan apakah yang harus kita ambil terhadap orang-orang ini? Sebab telah nyata kepada semua penduduk Yerusalem, bahwa mereka telah mengadakan suatu mujizat yang menyolok dan kita tidak dapat menyangkalnya. Tetapi supaya hal itu jangan makin luas tersiar di antara orang banyak, baiklah kita mengancam dan melarang mereka, supaya mereka jangan berbicara lagi dengan siapapun dalam nama itu” (Kisah Para Rasul 4:10, 13-17).

Seperti halnya dengan orang-orang beragama yang keras kepala dan menolak Yesus, yang mengancam kehidupan orang-orang Kristen mula-mula, demikian juga nampaknya dengan orang-orang Muslim yang membenci nama Yesus. Bahkan kalau anda memberi uang kepada seorang pengemis Muslim, dan anda menyebutkan nama Yesus pada saat bersamaan, pengemis tersebut pasti akan menolaknya. Kalau dia sungguh-sungguh lapar, dia mungkin akan menerima uang tersebut tetapi dia akan mencuci uang itu sebelum membelanjakannya.

Apakah Kata ‘Allah’ Tertulis Dalam Alkitab Asli?
Seorang anggota laskar jihad Afrika Selatan yang terlalu banyak ribut, Ahmed Deedat menulis sebuah pamflet 2 yang seluruhnya berisikan ejekan-ejekan kepada Tuhan umat Kristen (Elohim) dan pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan bahwa ‘Allah’ bangsa Arab ada tertulis dengan jelas dalam Alkitab umat Kristen yang sudah diputarbalikkan/diselewengkan.
Dengan gaya seolah-olah dia ingin memberi kejutan pada abad ini, Deedat mengumumkan dalam halaman tiga dari pamfletnya sebagai berikut: “Cukup sudah, sampai saat ini, untuk menyatakan bahwa menurut bahasa Musa, Yesus dan Muhammad … nama Tuhan Yang Maha Kuasa adalah ALLAH”.

Apakah ‘kejutan’ tersebut? Kejutan tersebut adalah keberadaan kata-kata berbahasa Ibrani seperti elohim, elah, dan alah pada catatan kaki dalam suatu Ulasan Alkitab versi Schofield edisi sebelumnya. Deedat menyimpulkan dari catatan kaki itu terbukti bahwa kata-kata berbahasa Ibrani tersebut di atas berarti ‘Allah’ dalam bahasa Arab. Paling sedikit ada dua dari publikasi Deedat yang membahas mengenai hal tersebut.

Deedat berusaha meyakinkan para pembaca buku terbitannya bahwa dia adalah ilmuwan bidang kajian perbandingan agama yang sangat luar biasa. Namun demikian, nampaknya sebagian besar dari argumentasinya tidak punya dasar kebenaran sama sekali. Kata-kata elohim, elah, dan alah hanya tercantum dalam catatan kaki dan bukan merupakan bagian dari teks Alkitab. Menurut para editor dari penerbitan yang sama dari Alkitab versi Schofield, dua kata pertama (maksudnya kata ‘elohim dan elah’) berarti ‘Tuhan’, sebaliknya kata ‘alah’ adalah sebuah kata biasa dalam bahasa Ibrani yang berarti “bersumpah”. Selain itu, kata itu juga merupakan kata kerja dan bukan kata benda sebagaimana yang dianggap oleh Deedat. Dan lagi para editor tersebut tidak mengindikasikan bahwa tiga kata tersebut berarti ‘Allah’.

Deedat tahu benar bahwa para pembaca terbitannya dan murid-muridnya tidak tahu sama sekali mengenai bahasa Ibrani Alkitab, dan dia sangat cerdik dalam mengendalikan penalaran mereka agar membenarkan argumentasinya. Cara semacam itu juga dilakukan oleh para saksi Yehovah dalam menyebarluaskan doktrin-doktrin sesat mereka.

Pertama, kata ‘elah’ dalam bahasa Ibrani berarti pohon aras (sejenis pohon dengan kayu yang sangat keras) atau semacam kayu terpentin/tarbantin, dan kata tersebut merupakan morfem bebas (catatan penerjemah: morfem bebas adalah istilah dalam ilmu linguistik/ilmu bahasa yang berarti satuan bentuk bahasa terkecil yang mengandung makna yang tidak dapat dibagi lagi atas bagian bermakna yang lebih kecil dan yang secara potensial dapat berdiri sendiri dalam suatu bangun kalimat misalnya kata ‘kami’, ‘Maria’, ‘topi’, dan lain-lain). Satu-satunya hal yang masuk akal manakala sebuah pohon aras akan diasosiasikan dengan sebuah atribut Tuhan adalah representasi kekuatannya (pohon aras memang sangat keras kayunya).

Kata ‘Elah’ juga digunakan untuk nama diri dari beberapa individu atau benda tertentu yang tercantum dalam Alkitab. Misalnya, dalam Kitab Kejadian 36:40-43 disebutkan bahwa ‘Elah’ adalah salah satu nama kepala-kepala kaum Edom. Dalam kitab 1 Samuel 17:2, 19, disebutkan nama sebuah tempat yaitu Lembah ‘Elah’ (dalam Alkitab berbahasa Indonesia disebut Lembah Tarbantin/Terpentin). Dalam kitab 1 Tawarikh 4:15, disebutkan nama salah satu anak-anak Kaleb ben Yefune adalah ‘Elah’. Dalam kitab 1 Tawarikh 9:8, disebutkan nama salah satu bani Benyamin adalah ‘Elah’ ben Uzi ben Mikhri. Ayah Simei disebut ‘Elah’ (1 Raja-raja 4:18); salah satu raja Israel disebut ‘Elah’ (1 Raja-raja 16:6, 14). Ayah Hosea disebut ‘Elah’ (2 Raja-raja 15:30).

Yesus berkata, “Dikuduskanlah namaMu”. Kalau nama ‘Tuhan’ harus dikuduskan, tentunya tidak mungkin nama ‘Tuhan’ diberikan secara sembarangan kepada manusia atau pohon yang setiap orang dapat menyebutnya setiap saat (catatan: kata ‘Elah’ digunakan untuk memberi nama manusia dan pohon secara sembarangan jadi kata ‘Elah’ pasti bukan berarti ‘Elohim’). Elohim memerintahkan umat Israel untuk tidak menyebut nama Yahweh, Elohim mereka dengan sembarangan; dan kalau kita menyadari bahwa orang-orang Yahudi sangat takut menyebut nama Yahweh, Elohim mereka dengan sembarangan, kita yakin bahwa tidak mungkin orang-orang Yahudi tersebut menamai anak-anak mereka dengan sebutan ‘Yahweh’ atau ‘Elohim’ atau ‘Adonay’.

Sementara itu kata ‘Elah’ yang merujuk pada Tuhan mulai diperkenalkan dalam kitab Ezra 4:24 dan dalam kitab Ezra ini kata ‘Elah’ disebutkan sebanyak 43 kali (catatan: anda akan menemukan kata ‘Elah’ tesrebut kalau anda membaca Alkitab Perjanjian Lama dalam bahasa aslinya yaitu sebagian besar berbahasa Ibrani dan sebagian kecil berbahasa Aram. Kata ‘Elah’ yang merujuk pada Tuhan terdapat dalam sebagian kecil kitab-kitab dalam Perjanjian Lama yang tertulis dalam bahasa Aram karena kata ‘Elah’ dalam bahasa Aram berarti Tuhan, jadi berbeda dengan kata ‘Elah’ dalam bahasa Ibrani yang berarti pohon aras). Dalam kitab Daniel kata ‘Elah’ muncul sebanyak 45 kali.

Satu hal penting yang perlu dicatat di sini yaitu bahwa kitab Ezra dan Daniel ditulis oleh orang-orang Israel yang berada di tanah pembuangan (Babylon dan Persia) selama 70 tahun. Walaupun mereka masih tetap beriman dengan teguh kepada Elohim, bahasa mereka telah banyak dipengaruhi oleh bahasa di tanah pembuangan. Kata ‘Elah’ yang terakhir kali dijumpai yaitu tertulis dalam kitab Yeremia 10:11. Penggunaan kata tersebut oleh Yeremia mempunyai arti yang sangat penting. Nabi Yeremia menggunakan bentuk jamak (plural) dari kata ‘Elah’ (Elahim) untuk mengacu pada tuhan-tuhan palsu sebagai berikut: “Beginilah harus kamu katakan kepada mereka; Para elahim (elah-elah) yang tidak menjadikan langit dan bumi akan lenyap dari bumi dan dari kolong langit ini”. Kata yang sama artinya dengan ‘Elah’ (bahasa Aram) adalah Eloah (bahasa Ibrani) yang digunakan 56 kali dalam Alkitab Perjanjian Lama. Kata ‘Eloah’ digunakan pertama kali dalam kitab Ulangan 32:15 dan tertulis dalam kitab Ayub sebanyak 41 kali.

Dalam situasi lain manakala kata ‘Elah’ digunakan dalam teks-teks Ibrani asli, kata tersebut selalu mengacu pada pohon aras. Dalam kitab Amos 2:9, Elohim mengingatkan bangsa Israel bahwa Dialah yang menaklukkan bangsa Amori untuk diserahkan ke tangan bangsa Israel: “Padahal Akulah yang memunahkan dari depan mereka, orang Amori yang tingginya seperti tinggi pohon aras dan yang kuat seperti pohon terbantin; Aku telah memunahkan buahnya dari atas dan akarnya dari bawah”. Kalau kata ‘Elah’ (bahasa Ibrani) adalah nama Yahweh, Elohim pasti tidak akan mengatakan bahwa Dia memunahkan bangsa Amori seperti Dia memunahkan ‘Elah’. Dalam kitab Yesaya 1:29, Elohim berkata: “Sungguh kamu akan mendapat malu karena pohon-pohon keramat (bahasa Ibrani: elah dalam bentuk jamak) yang kamu inginkan; dan kamu akan tersipu-sipu karena taman-taman dewa yang kamu pilih”.

Nama Yahweh dimuliakan, ditinggikan dan diagungkan di seluruh bumi (Mazmur 8:1); dan jika elah adalah nama Yahweh atau mungkin salah satu dari nama-nama julukan Yahweh, Elohim tidak mungkin mengatakan seperti yang tertulis dalam kitab Yesaya tersebut di atas.

Satu hal lain yang juga sangat penting untuk dicatat adalah bahwa elah yang dicantumkan dalam kitab Yesaya 44:14 sesungguhnya mengacu pada tempat penyembahan berhala di mana manusia telah menumbangkan/menebang pohon-pohon aras (bahasa Ibrani: elah dalam bentuk jamak) dengan tujuan untuk membangun suatu agama baru di atas reruntuhannya. Elohim sungguh-sungguh mencemoohkan manusia karena membuat suatu tuhan di atas reruntuhan elah: “Dan kayunya menjadi kayu api bagi manusia, yang memakainya untuk memanaskan diri; lagipula ia menyalakannya untuk membakar roti. Tetapi juga ia membuatnya menjadi elohim lalu menyembah kepadanya; ia mengerjakannya menjadi patung lalu sujud kepadanya. Setengahnya dibakarnya dalam api dan di atasnya dipanggangnya daging. Lalu ia memakan daging yang dipanggang itu sampai kenyang; ia memanaskan diri sambil berkata: Ha, aku sudah menjadi panas, aku telah merasakan kepanasan api. Dan sisa kayu itu dikerjakannya menjadi elohim, menjadi patung sembahannya; ia sujud kepadanya, ia menyembah dan berdoa kepadanya katanya: “Tolonglah aku, sebab engkaulah elohimku!” Orang seperti itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mengerti apa-apa, sebab matanya melekat tertutup, sehingga tidak dapat melihat, dan hatinya tertutup juga, sehingga tidak dapat memahami. Tidak ada yang mempertimbangkannya, tidak ada cukup pengetahuan atau pengertian untuk mengatakan: Setengahnya sudah kubakar dalam api dan di atas baranya juga sudah kubakar roti,sudah kupanggang daging, lalu ku makan. Masakan sisanya akan kubuat menjadi dewa kekejian? Masakan aku akan menyembah kepada kayu kering?” (Yesaya 44:15-19).

Jika elah (bahasa Ibrani) dalam Alkitab adalah Allah umat Muslim; jika dia adalah tuhan dari Batu Hitam di Mekah, baitullah dari tempat pemujaan Kaabah yang disujudi oleh para penyembah berhala di Arabia dan yang disujudi oleh umat Muslim, dia pasti bukan ‘El’ atau ‘Yah’ seperti yang dimaksud oleh Alkitab. Dalam bahasa Ibrani, kata ‘El’ inilah yang digunakan untuk mengacu pada Tuhan, dan kata tersebut tidak pernah digunakan secara terpisah untuk mengacu pada orang lain, tempat atau benda apapun. ‘El’ biasanya digunakan sebagai imbuhan pada kata lain manakala ia digunakan untuk mengacu pada suatu pribadi. Misalnya, Elkana artinya “Tuhan telah memiliki” (digunakan di delapan tempat dalam Alkitab). Elnathan, artinya ‘Tuhan telah menganugerahi’, Eltolad, artinya ‘keluarga Tuhan’, dan lain-lain.

Kata yang paling dekat dengan ‘El’ yang digunakan untuk memberi nama pada seorang manusia adalah ‘Eli’ yang berarti ‘Tuhan maha tinggi’, atau kalau ditulis ‘Eloi’ berarti Tuhanku. Beberapa orang seperti Deedat mengklaim bahwa ‘Eli’ nampaknya seperti ‘Allah’, namun dalam tulisan bahasa Ibrani huruf ‘I’ dalam kata ‘Eli’ adalah huruf imbuhan/tambahan yang disebut ‘yodh’, semacam bunyi ‘y’ yang bukan merupakan bagian dari kata itu tetapi menekankan atau menyungguhkan arti kata tersebut, misalnya dalam bentuknya yang lebih jelas terdapat dalam kata ‘Elijah’ (El dan Yah adalah dua hal yang sama artinya, yaitu El adalah Yah, dan Yah adalah El, jadi ‘Yah’ menyungguhkan arti ‘El’).

Kami tekankan sekali lagi bahwa huruf ‘I’ (yodh) dalam kata ‘Eli’ bukanlah bagian dari kata tersebut namun merupakan imbuhan/tambahan. Ketika Yesus di atas kayu salib, Dia tidak mengatakan El, El (Tuhan, Tuhan), tetapi Dia mengatakan Eloi, Eloi maksudnya TuhanKu, TuhanKu. Semua hal tersebut di atas merupakan hal yang juga luput dari pengamatan atau tidak diungkapkan dalam pamflet-pamflet yang ditulis Deedat.

Kata untuk menyatakan Tuhan dalam bahasa Ibrani yang digunakan dalam Kejadian 1:1 adalah ‘Elohim’ bukan ‘Allah’, ‘allah’ atau ‘elah’ dan kata tersebut digunakan sebanyak 32 kali dalam kitab Kejadian pasal satu saja. Dalam seluruh Alkitab Perjanjian Lama, kata ‘Elohim’ digunakan sebanyak 2570 kali. Kata ‘Elohim’ adalah kata dalam bentuk jamak yang merupakan perwujudan dari suatu eksistensi keilahian yang bersifat pluralitas/majemuk namun dalam satu keesaan yang utuh (itulah sebabnya Elohim disebut Maha Esa). Hal ini bertentangan dengan identitas Allah dalam Alquran karena kata ‘Allah’ secara gramatika tidak membenarkan adanya pluralitas.

Analis linguistik dari ‘Allah’ Arabia tersebut mungkin dapat dijadikan satu proposal penelitian untuk tesis Ph.D tersendiri. Namun, secara singkat, mari kita ambil pelajaran dari pengakuan keimanan islam yang sangat popular yaitu : “La ilaha illa allah …..”. La berarti tidak, ilaha berasal dari kata ‘ilahun’ yang berarti ‘tuhan’, illa atau il’ berarti tetapi, allah merupakan kata yang paling penting, sebagian besar ilmuwan setuju bahwa kata ‘allah’ merupakan kombinasi dari kata sandang ‘al’ dan ‘ilaha’ yang berarti ‘tuhan’, sehingga terbentuklah kata al-ilaha atau al’laha atau al-illah dan selanjutnya kata tersebut berubah menjadi ‘allah’ yang artinya ‘tuhan yang satu itu’. Jadi arti “La ilaha illa allah” adalah “tidak ada tuhan kecuali tuhan yang satu itu”.

Penjelasan tersebut benar jika, dan hanya jika, kata ‘allah’ memang aslinya adalah kata Arab. Namun, beberapa ahli bahasa meyakini bahwa tidak ada bukti-bukti sama sekali bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Arab, petunjuk yang ada hanyalah bahwa kata ‘allah’ berasal dari bahasa-bahasa Semitik. 3 Probabilitas linguistik yang paling mendekati kebenaran adalah bahwa nama ‘allah’ tersebut nampaknya merupakan varian dari kata bahasa Syria ‘alaha’ yang digunakan oleh umat Kristen sebelum Islam muncul. Namun, asumsi ini masih merupakan suatu probabilitas linguistik, dan mungkin saja kata ‘alaha’ ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan referen (acuan) dari ‘Allah’ dalam agama Islam yaitu Allah dari Muhammad yang menyangkal/menolak Kristus sekaligus Allah yang menolak kebenaran bahwa Yesus datang sebagai Tuhan dalam maujud manusia. Faktanya, banyak ilmuwan lain yang menyatakan tidak setuju terhadap pandangan bahwa kata ‘allah’ Arabia berasal dari kata ‘alaha’ Syria.

“Yah Allahu”
Kami sungguh dibuat tercengang-cengang atas usaha Deedat yang tidak mengenal lelah dalam rangka memutar-balikkan arti kata-kata untuk membuktikan pernyataan-pernyataannya yang kontroversial. Sebagai contoh, kita ambil ungkapan ‘Halleluyah’, yang dijelaskan oleh Deedat dalam pamfletnya yang berjudul ‘Siapakah NamaNya?’ sebagai berikut: ‘Yah’ berarti ‘oh’ atau suatu partikel penyeru (!). dia berkata bahwa Rasul Yohanes nampaknya sangat menggelikan manakala dia mengklaim dalam kitab Wahyu pasal 19 bahwa para malaikat dan orang-orang suci di surga berseru ‘Halleluyah’, yang menurutnya (menurut Deedat) seruan ‘Halleluyah’ tersebut sama artinya dengan ungkapan dalam bahasa Inggris ‘hip hip hurrah !’ Deedat tak habis pikir bagaimana mungkin para malaikat Tuhan (Elohim) berseru ‘hip hip hurrah’ untuk menyembah/memuja Elohim? Dalam pamflet yang sama Deedat juga mengungkapkan lebih lanjut bahwa ungkapan ‘Halleluyah’ adalah suatu penyelewengan dari ungkapan ‘Ya Allahu’ yang menurut dia berarti ‘Oh Allah’. Semua klaim Deedat tersebut merupakan tanda-tanda ketidaktahuannya. Pertama, Yohanes menulis kitab Wahyu dalam bahasa Yunani dan bukan dalam bahasa Ibrani, dan kata yang digunakan Yohanes adalah ‘Alleluia’. Kata tersebut merupakan kata Yunani yang artinya sama dengan kata Ibrani ‘Halleluyah’ atau ‘Hallelujah’.
Selain itu bukan Yohanes yang memperkenalkan/mencetuskan ungkapan ‘Halleluyah’ tersebut.
Teks Alkitab Perjanjian Lama yang ditulis dalam bahasa Ibrani ratusan tahun sebelum Yohanes dilahirkan tersebut penuh dengan ungkapan-ungkapan ‘Halleluyah’, terutama dalam kitab Mazmur. ‘Halleluyah’ adalah ungkapan pujian kepada Elohim yang sangat besar artinya, sangat berbeda dengan klaim Deedat yang menyatakan bahwa ungkapan tersebut tidak lebih dari sekedar ungkapan ‘hip hip hurrah’. Naskah-naskah Alkitab berbahasa Ibrani mencantumkannya sebagai ‘Hallelu Yah’. Sebenarnya, ungkapan ‘Halleluyah’ terdiri dari dua kata. Kata-kata leksikalnya adalah ‘Hallel’ dan ‘Yah’. ‘Hallel’ (diucapkan /haleil/ ), berarti ‘puji’. Sebagai contoh, Mazmur 136 kadang-kadang disebut ‘Hallel’ karena Mazmur tersebut mengandung ungkapan rasa syukur dan pujian. Mazmur 120-136 kadang-kadang secara bersama-sama disebut ‘Hallel Agung’ karena pasal-pasal tersebut secara istimewa mengungkapkan berbagai nyanyian dan pujian.

Leksikal berikut adalah ‘Yah’ yang merupakan kependekan dari Yahweh dan merupakan sebuah variasi dari ‘Jah’ artinya ‘Tuhan’. Jadi Halleluyah berarti ‘Terpujilah Tuhan’.
Dalam teks-teks Alkitab berbahasa Ibrani, ungkapan ‘Halleluyah’ dapat dijumpai dalam kitab Mazmur 104:35; 106:1,48; 111:1; 112:1; 113:1; 115:18; 116:19; 117:2; 135:1,3,21; 146:1,10; 147:1,20; 148:1,14; 149:1,9; 150:1,6.

Oleh karena itu sungguh mustahil pernyataan Deedat bahwa ‘Halleluyah’ semata-mata berarti ‘Oh Allah’. Dalam perdebatannya dengan Dr. Anis Shorrosh di London pada tahun 1985, Deedat berkata bahwa ‘Jah’ adalah suatu ungkapan dalam bahasa Arab semacam ‘Oh’ dalam ‘Oh, ibu’. Allelujah berarti ‘Yah adalah Allah’, tidak ada Tuhan lain. 4 Anda pasti bertanya-tanya, apakah maksud kata-kata tersebut? Namun demikian, saya rasa bahwa tuan Deedat layak mendapatkan penghargaan dalam bidang kesusasteraan Islam atas keagresifan dan kemampuannya menyesatkan dan membingungkan banyak orang bahkan termasuk orang-orang yang sangat terpelajar. Dia layak mendapatkan lebih banyak uang hasil penjualan minyak dan lebih banyak lagi bulu-bulu merah untuk menghiasi serbannya (semacam ikat kepala).

‘Allah’ dan ‘Sesembahan Kristen’
Seseorang harus mengakui bahwa isu mengenai identitas Allah tersebut sungguh sangat merisaukan. Bagaimana kami dapat mencermati/meneliti hal-hal yang telah terjadi sebelumnya (maksudnya riwayat pertama-tama sampai nama Allah itu digunakan dalam ibadah Kristen) tanpa merasa antipasti terhadap nama itu sendiri? Dan jika kami merasa antipasti, bagaimana caranya kami dapat mengkomunikasikan Injil kepada bangsa Hausa dan bangsa Arab dengan tanpa menggunakan kata ‘Allah’ tersebut. Selain itu masih banyak bahasa yang belum memiliki khazanah terjemahan Alkitab, dan nampaknya kami juga sangat risau memikirkan mengenai terjemahan-terjemahan yang sudah ada yang berkaitan dengan nama yang digunakan dalam bahasa-bahasa tersebut untuk mengacu pada Elohim.

Sejak tahun 1981 Alkitab berbahasa Malaysia dilarang beredar di Malaysia. Alasannya karena di dalam Alkitab tersebut terdapat kata ‘Allah’ dan kata-kata lain yang bernuansa dan berlatar belakang Islam. Sekarang di negara tersebut ada aturan yang diberlakukan sejak Islam mengklaim bahwa sudah 50% penduduknya memeluk agama Islam, yaitu bahwa agama-agama lain tidak boleh menggunakan kata-kata seperti ‘Allah’, ‘iman’, dan ‘percaya’ dalam literatur-literatur keagamaannya, yang boleh menggunakan kata-kata tersebut hanya literatur-literatur Islam. Sudah jelas aturan tersebut diilhami oleh setan dengan tujuan untuk mencegah pengkomunikasian Injil kepada umat Muslim. Sekarang pertanyaannya adalah: Apakah tidak mungkin untuk mengajari orang-orang yang mempercayai bahwa Sang Pencipta adalah Allah tanpa menggunakan nama ‘Allah’ itu sendiri? Haruskah kami mencoret nama ‘Allah’ dari Alkitab kami dan menggantikan nama tersebut dengan nama-nama lain yang juga dapat mengacu pada Tuhan?

Dalam dunia Kristen sendiri, haruskah kami menggunakan nama Allah dalam kebaktian-kebaktian di gereja-gereja kami? Atau apakah kami harus mengurangi hakikat dan eksistensi Tuhan akibat keterbatasan bahasa manusia? Bagaimana keadaan selanjutnya bagi umat Kristen Hausa atau umat Kristen Arab yang telah sangat terkondisi dengan situasi dimana mereka menghayati Allah sebagai sang Maha Esa/Maha kuasa? Bagaimana kalau mereka dibiarkan saja terus denagn tulus ikhlas mengimani Allah sebagai Tuhan dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus dan menyembahNya dalam Roh dan dalam kebenaran? Apakah akan timbul masalah? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas sungguh bukan merupakan suatu tugas yang mudah dilakukan. Beberapa orang bahkan bertanya-tanya apakah dalam kenyataannya seseorang dapat menyembah Tuhan dalam Roh dan dalam kebenaran dengan menggunakan nama Allah.

Yesus telah berkata: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18:20). Bagaimana kalau seandainya kami berkumpul bersama dalam nama Yesus Kristus dan nama Allah? Apapun kasusnya, saya rasa antara nama yang digunakan untuk mengacu pada Tuhan (Elohim) dan nama Yesus merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan (tafsiran penerjemah: nama Tuhan adalah nama Yesus dan nama Yesus adalah nama Tuhan). Dalam kitab Yohanes 17:11, Yesus berdoa: “ … Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam namaMu, yaitu mereka yang telah Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita”.

Pada saat ini, kami tidak bermaksud memaksakan suatu pendapat mengenai penggunaan nama ‘Allah’ dalam ibadah kami. Namun kami perlu menyadari bahwa nama sesembahan merupakan masalah penting dalam ibadah dan pemujaan. Bahkan para penyembah berhalapun mengetahui hal tersebut. Dapatkah kita menggunakan nama ‘Eck’, ‘tuhan’ kepercayaan ‘Eckankar’ dalam kebaktian-kebaktian kita sambil berpura-pura seolah-olah hal tersebut tidak menimbulkan masalah. Apa yang menyebabkan kita tidak menggunakan nama Krishna, Shiva, Vishnu, devi, Brahman dari agama Hindu sebagai suatu manifestasi dari ‘satu tuhan’? Orang-orang yang berpikir bahwa nama-nama tersebut dapat digunakan dalam ibadah/kebaktian Kristen adalah orang-orang yang telah jatuh ke dalam jerat teologi antar kepercayaan yang anti Kristus yang saat ini melanda dunia Eropa. Selagi saya dalam keadaan risau memikirkan isu ini, Roh Tuhan memberikan kepada saya tiga ayat yang spesifik dari Alkitab.

Pertama, dalam kitab Zakharia 14:9. Di sini, Zakharia menubuatkan bahwa ketika Yesus datang kembali, “Yahweh akan menjadi Raja atas seluruh bumi; pada waktu itu Yahweh adalah satu-satunya dan namaNya satu-satunya”. Halleluyah!

Kedua, dalam kitab Zefanya 3:9, Yahweh berfirman, “Tetapi sesudah itu Aku akan memberikan bibir lain kepada bangsa-bangsa, yakni bibir yang bersih, supaya sekaliannya mereka memanggil nama Yahweh, beribadah kepadaNya dengan bahu-membahu”.

Ketiga, dalam kitab Yesaya 65:16, Yahweh menjelaskan mengenai alasan lain mengapa Dia akan melakukan sesuatu terhadap bibir kita. “Sehingga orang yang hendak mendapat berkat di negeri akan memohon berkat demi Elohim yang setia, dan orang yang hendak bersumpah di negeri akan bersumpah demi Elohim yang setia …”.

Dengan kata-kata lain, tidak akan ada lagi kebingungan atau penyesatan mengenai siapa Allah menurut Islam atau menurut Kristen. Bagi umat Kristen (terutama dari Arab, Hausa, Indonesia) tidak aka nada lagi nama ‘Allah’. Apapun latar belakang historis dari bangsa mereka, tidak seorangpun boleh menyebut nama itu lagi atau menyebut nama tuhan-tuhan lain yang berbeda dengan nama Tuhan yang benar (maksudnya Yahweh). Dalam kitab Keluaran 23:13, Yahweh berfirman kepada umat Israel sebagai berikut: “Dalam segala hal yang Kufirmankan kepadamu haruslah kamu berawas-awas; nama elohim lain janganlah kamu panggil, janganlah nama itu kedengaran dari mulutmu”.

Ketika Yesus datang lagi, nama ‘Allah’ tidak boleh ada lagi dalam Alkitab-Alkitab versi bahasa Arab, bahasa Indonesia, maupun bahasa Hausa. Semua kidung-kidung agung dan himne-himne suci yang masih menggunakan nama Allah harus disingkirkan atau dikomposisi ulang. Ini merupakan perintah Tuhan yang harus dilaksanakan. Kami tidak perlu sibuk melakukan manuver-manuver teologis atau mempresentasikan polemik-polemik untuk meyakinkan setiap orang. Tindakan ini akan dilaksanakan ‘di seluruh muka bumi’. Amin. “Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Elohim, Bapa” (Filipi 2:10,11).

Pemazmur menyatakan, “Bertambah besar kesedihan orang-orang yang mengikuti elohim lain; aku tidak akan ikut mempersembahkan korban curahan mereka yang dari darah, juga tidak akan menyebut-nyebut nama mereka di bibirku” (Mazmur 16:4).

1 comment:

  1. saya bukan seorang beragama islam ataupun kristen...
    saya seorang yahudi.,
    dan saya sangat tidak setuju dengan tulisan anda,
    seharusnya anda menulis sejarah ini bukan dengan sudut pandang religi,
    tapi ke realisasi dan logika.
    dan jangan sekali2 anda menuliskan argumen anda dalam artikel.,
    1. anda tidak menyinggung tentang siapa ayah yesus...???
    allah kan...???klo g percaya buka al kitab
    maka dari itu allah di panggil tuhan bapa,
    sedangkan menurut anda yesus itu tuhan,dan allah gak layak jadi tuhan
    logikanya..
    allah sebagai tuhan,menciptakan mahluk bernama nama yesus,yang lebih sempurna dan layak jadi tuhan...
    apa gak aneh...???
    pencipta masih lebih sempurna apa yang di ciptakan.
    sebab itu,anda sudah melakukan radikalisme,..
    thnks...

    ReplyDelete